Logika Induksi, Generalisasi Beserta Faktor Probabilitasnya

 

Penalaran merupakan hal yang kita sering gunakan sehari-hari dalam berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang terdekat baik keluarga maupun kerabat di tempat kuliah atau di kantor. Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indra (pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian.

Hidup tempat kita menentukan kebijaksanaan didasarkan atas kemungkinan-kemungkinan. Sedikit sekali hal-hal yang pasti dalam hidup ini. Sesuatu yang kita yakini sebagai benar bila kita analisis secara tepat dengan fakta yang ada hanya menunjukkan tingkatan dalam kemungkinan, yaitu: biasanya, kemungkinan besar, mungkin sekali, ataupun hampir pasti. Generalisasi sebagai teknik yang mula-mula kita bicarakan adalah proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual yang diselidiki. Dengan begitu hukum yang disimpulkan dari fenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki. Oleh karena itu hukum dihasilkan oleh penalaran ini, juga sama bentuk penalaran induktif tidak pernah sampai kepada kebenaran pasti, tetapi kebenaran kemungkinan besar (probability). Jadi probabilitas merupakan pernyataan yang berisi ramalan tentang tingkatan keyakinan tentang terjadinya sesuatu di masa yang akan datang.

Generalisasi Induktif

Para logikawan umumnya membagi penalaran ke dalam dua kategori utama yakni penalaran induksi dan penalaran deduksi. Penalaran induktif didasarkan pada generalisasi pengetahuan atau pengalaman yang sudah kita miliki. Berdasarkan pengetahuan atau pengalaman yang kita miliki tersebut, dirumuskan atau disimpulkan suatu pengetahuan atau pengalaman baru. Atau dengan rumusan lain, induksi adalah proses penarikan kesimpulan universal berdasarkan pengalaman, data, fakta atau pengetahuan terbatas sebagai premis yang kita miliki. 

Contoh:
Premis: Doni melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati hukum. 
Jodi, melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati hukum,
Johan, melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati hukum,
Budi, melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati hukum,

Kesimpulan:
Semua orang yang melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati hukum.

Contoh diatas merupakan induksi dalam pengertian generalisasi induksi, generalisasi induksi umumnya disingkat dengan induksi saja. Generalisasi induktif merupakan sebuah proses penarikan kesimpulan umum (universal) dari data, fakta, kenyataan tertentu atau berdasarkan proposisi singular. 

Penalaran induktif adalah cara berfikir untuk menarik kesimpulan dari pengamatan terhadap hal yang bersifat partikular kedalam gejala-gejala yang bersifat umum atau universal. Sehingga dapat dikatakan bahwa penalaran ini bertolak dari kenyataan yang bersifat terbatas dan khusus lalu diakhiri dengan statemen yang bersifat komplek atau umum.  Generalisasi adalah salah satu ciri yang paling khas dalam metode induksi. Hanya saja, generalisasi di sini tidak berarti dengan mudahnya suatu proposisi yang diangkat dari suatu individu dibawa untuk digeneralisasikan terhadap suatu komunitas yang lebih luas. Justru, melalui metode ini, diberikan suatu kemungkinan untuk disimpulkan. Dalam artian, bahwa ada kemungkinan kesimpulan itu benar tetapi tidak berarti bahwa itu pasti benar, sehingga akhirnya di sinilah lahirnya probabilitas. 

Generalisasi dapat dilakukan dengan dua metode yang berbeda. Pertama, yang dikenal dengan istilah induksi lengkap, yaitu generalisasi yang dilakukan dengan diawali hal-hal partikular yang mencakup keseluruhan jumlah dari suatu peristiwa yang diteliti. Seperti dalam kasus: penelitian bahwa di depan setiap rumah di desa ada pohon kelapa, kemudian digeneralisasikan dengan pernyataan umum “setiap rumah di desa memiliki pohon kelapa”. Contoh lain: setelah kita memperhatikan jumlah hari pada setiap bulan tahun masehi kemudian disimpulkan bahwa “semua bulan masehi mempunyai hari tidak lebih dari 31” dalam penyimpulan ini, keseluruhan fenomena yaitu jumlah hari pada setiap bulan kita selidiki tanpa ada yang kita tinggalkan. Maka generalisasi macam ini tidak bisa diperdebatkan dan tidak pula diragukan dan generalisasi ini memberikan kesimpulan amat kuat dan tidak dapat diserang tetapi tentu saja tidak praktis dan tidak ekonomis.

Kedua, yang dilakukan dengan hanya sebagian hal partikular, atau bahkan dengan hanya sebuah hal khusus. Poin kedua inilah yang biasa disebut dengan induksi tidak lengkap. Dalam penalaran induksi atau penelitian ilmiah sering kali tidak memungkinkan menerapkan induksi lengkap, oleh karena itu yang lazim digunakan adalah induksi tidak lengkap. Induksi lengkap dapat dicapai manakala seluruh kejadian atau premis awalnya telah diteliti dan diamati secara mendalam. Namun jika tidak semua premis itu diamati dengan teliti, atau ada yang terlewatkan dan terlanjur sudah diambil suatu kesimpulan umum, maka diperbolehkan induksi tidak lengkap. Misalnya: “sarjana luar negeri lebih berkualitas daripada sarjana dalam negeri” jenis induksi tidak lengkap inilah yang sering kita dapati. Alasannya sederhana, keterbatasan manusia.  Contoh lain: setelah kita selidiki sebagian bangsa Indonesia bahwa mereka adalah manusia suka bergotong royong, kemudian kita simpulkan bahwa “bangsa yang suka bergotong royong” maka penyimpulan ini adalah generalisasi tidak sempurna (induksi tidak lengkap). Generalisasi ini tidak menghasilkan kesimpulan sampai ke tingkat pasti sebagaimana generalisasi sempurna (induksi lengkap), tetapi corak generalisasi ini jauh lebih praktis dan lebih ekonomis.

Hasil penalaran generalisasi induksi itu sendiri juga disebut generalisasi. Generalisasi dalam arti ini berupa suatu proposisi universal “seperti semua apel yang keras dan hijau, rasanya asam”, “semua logam yang dipanasi memuai”. Menurut Soekadijo, generalisasi yang baik harus memenuhi tiga syarat, antara lain:

1. Generalisasi harus tidak terbatas secara numerik. Artinya, generalisasi tidak boleh terikat pada jumlah tertentu. Kalau dikatakan “semua A adalah B”, maka proposisi itu harus benar, berapa pun jumlah A. proposisi itu berlaku untuk setiap dan semua subjek yang memenuhi kondisi A.

Contohnya: Semua perempuan adalah cantik.

2. Generalisasi harus tidak terbatas secara spasio-temporal. Artinya, tidak boleh terbatas dalam ruang dan waktu. Jadi harus berlaku dimana saja dan kapan saja.

Contohnya: Semua dosen adalah orang terpelajar.

3. Generalisasi harus dapat dijadikan dasar pengandaian. Yang dimaksud dasar pengandaian adalah dasar dari yang disebut contrary-to-facts conditionals atau unfulfilled conditionals.

Rumusnya:
Faktanya: X,Y dan Z itu masing-masing bukan B
Ada generalisasi: Semua A adalah B
Pengandaiannya: Andaikata X,Y dan Z itu masing-masing sama dengan A atau dengan kata-kata lain, andaikata X,Y dan Z itu masing-masing memenuhi atau sama kondisinya dengan A, maka pastilah X,Y dan Z itu masing-masing sama dengan B.

Contohnya:
Faktanya: Yusup, Irwan, dan Cipto itu bukan perempuan
Generalisasi: semua yang cantik adalah perempuan
Pengandaiannya: Andaikata Yusup, Irwan dan Cipto itu cantik, maka pastilah Yusup, Irwan dan Cipto itu perempuan.

Generalisasi yang dapat dijadikan dasar untuk pengandaian seperti itulah kondisi yang memenuhi syarat.

Pengambilan kesimpulan secara induktif juga tidak luput dari kekeliruan. Ia juga tidak bisa menghindari adanya error seperti adanya ketidak telitian dalam pengamatan yang dipengaruhi banyak faktor, sebut saja alat indra yang tidak sempurna.  Hal yang sama juga terjadi pada statistika, ia notabennya bertujuan memperingan kerja penggiat penalaran induktif dengan metode pengambilan sampelnya, namun akhirnya kesadaran statistika yang menganggap kebenaran absolut tidak mungkin dapat dicapai walaupun ada kemungkinan bahwa kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan dapat dicapai telah membawa manusia ke dalam suatu sikap relativis. 

Terlepas dari itu semua, kegiatan ilmiah mutlak memerlukan sebuah pengujian atas hipotesis yang ada. Pengujian ini dilakukan dengan melihat pada fakta ilmiah yang ada. Maka di sinilah diperlukan sebuah metode induktif. Umpamanya, untuk menguji hipotesis bahwa “Mahasiswa pascasarjana semester 2 ISID lebih antusias pada mata kuliah filsafat ilmu, dari pada statistika” diperlukan pengumpulan fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut. Yaitu dengan mengadakan wawancara kepada seluruh ataupun sebagian mahasiswa tersebut sebagai representif dan obyektif dan keseluruhan populasi mereka.

Baik penalaran induktif ataupun deduktif kesemuanya memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Yang mana keduanya telah ikut memberikan corak cara berfikir ilmiah modern saat ini. Jika berpijak pada induktif semata maka ilmu pengetahuan akan berada dalam suatu “kegelapan ilmiah” begitu pula jika hanya pada deduktif belaka maka ia tidak akan maju. Maka dari itu dengan berkaca pada aspek positif dan negatif dari keduanya, orang kemudian mencoba mengkolaborasikan, memodifikasi, dan mengembangkan keduanya menjadi sebuah sistem penalaran ilmiah modern saat ini (scientific method). 

Faktor Probabilitas

Dalam induksi, tidak ada kesimpulan yang mempunyai nilai kebenaran yang pasti. Yang ada hanyalah kesimpulan dengan probabilitas terendah atau tertinggi. Maka hasil usaha analisis dan rekontruksi penalaran induksi itu hanya berupa ketentuan mengenai bentuk induksi yang menjamin kesimpulan dengan probabilitas setinggi-tingginya. Tinggi rendahnya probabilitas kesimpulan itu dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang disebut faktor probabilitas. Untuk mengetahui faktor probabilitas dapat dibandingkan beberapa bentuk generalisasi induksi berikut ini.
  1. Apel ini keras, hijau dan rasanya masam. Semua apel yang keras dan hijau rasanya masam.
  2. Apel 1 keras, hijau, dan rasanya masam. Apel 2 keras, hijau dan rasanya masam. Apel 3 keras, hijau dan rasanya masam. Semua apel keras dan hijau rasanya masam.
  3. Apel 1 keras, hijau dan rasanya masam. Apel 2 sampai 15 keras, hijau dan rasanya masam. Semua apel yang keras dan hijau rasanya masam.
  4. Apel 1 keras, hijau dan rasanya masam. Apel 2 keras, hijau, kecil, benjol dan masam. Apel 3 keras, hijau, kecil, benjol dan masam. Semua apel keras dan hijau rasanya masam.
  5. Apel 1 keras, hijau, kecil, benjol dan masam. Apel 2 keras, hijau, dari batu, baru saja dipetik dan masam. Semua apel keras, dan hijau rasanya masam.
  6. Apel 1 keras, hijau, kecil, rasanya masam. Apel 2 keras, hijau, besar, rasanya masam. Apel 3 keras, hijau, kecil, rasanya masam. Semua apel keras dan hijau rasanya masam.
Enam generalisasi di atas kesimpulannya sama, yaitu semua apel keras dan hijau rasanya masam. Kesimpulan itu berbeda-beda kredibilitas rasionalnya atau probabilitasnya. Yang menyebabkan perbedaan probabilitas itu adalah faktor probabilitas. Soekadjo berpendapat faktor-faktor probabilitas adalah sebagai berikut.
  1. Semakin besar jumlah fakta yang dijadikan dasar maka semakin tinggi probabilitas kesimpulan dan sebaliknya.
  2. Semakin besar jumlah faktor analogi di dalam premis semakin rendah probabilitas kesimpulannya dan sebaliknya.
  3. Semakin besar jumlah faktor disanalogis di dalam premis maka semakin tinggi probabilitas kesimpulannya dan sebaliknya.
  4. Semakin luas kesimpulannya maka semakin rendah probabilitasnya dan sebaliknya. 

Abd Hamid Majid

Seorang Mahasiswa Universitas di Jawa Timur, Indonesia

Post a Comment

Previous Post Next Post