Al-Umur Bimaqashidiha (Dalam Kitab Al-Asybah Wa Al-Nadzair)

Al-Umur Bimaqasidiha (Setiap perkara tergantung dengan tujuan/niatnya)



Persoalan yang berkembang di tengah-tengah umat membutuhkan jawaban yang logis dan syar'i. Masalahnya, ternyata tidak semua kasus baru yang muncul sudah ditegaskan dalam teks secara tersurat, baik nash Al-Quran maupun Al-Sunah. Di saat yang sama, kejadian dan peristiwa terus bertambah seiring perjalanan waktu, apalagi sekarang zaman Modern. Dorongan kuat untuk berijtihad dan beranalogi menggunakan kaidah-kaidah yang didasari kedua sumber hukum Islam akhirnya mutlak diperlukan.

Jalaluddin Al-Suyuthi (911 H/1505 M). Salah satu karya monumentalnya adalah Al-Asybah Wa Al-Nazhair Fi Qawaid Wa Furu'i Fiqh Asy-Syafi'iyyah. Sebelum menulis Al-Asybah, Al-Suyuthi terinspirasi oleh kitab yang lebih dulu ia tulis tentang standar dan kaidah fikih (Syawarid Al Fawaid fi Adh dhawabith wa al qawaid). Kitab tersebut mendapat sambutan luar biasa dari kalangan murid ataupun ulama. Di satu sisi, kehadiran kitab tentang kaidah yang cukup beragam baik dari corak dan sistematika penulisan, mengilhami Al-Suyuthi untuk membukukan kaidah-kaidah fikih secara lebih singkat, padat, dan sistematis.


Al-Asybah merupakan ringkasan dari kitab-kitab tentang kaidah fikih yang pernah ditulis sebelumnya. Al-Suyuthi mengambil kaidah-kaidah terpenting yang terdapat di beberapa kitab, di antaranya Al-Majmu Al-Madzhab Fi Qawaid Al-Madzhab karangan Abu Said Al-Alai, Al-Asybah Wa An-Nazhair yang ditulis Tajuddin As-Subuki, dan Kitab Al-Mantsur Fi Tartib Al Wawaid Al Fiqhiyyah karya Az-Zarkasyi.

Kendati kitab yang dikarangnya bukan entri baru di cabang ilmu ini, terutama yang bercorak Mazhab Syafi'i, Al-Suyuthi unggul dalam beberapa hal. Selain Al-Asybah lebih ringkas, paparan yang disampaikan dilengkapi dengan analisis kritis dan komparasi antara pendapat yang merupakan ciri khas dan kepiawaian Al-Suyuthi. Terkait referensi kitab fikih, Al-Suyuthi menggunakan kitab fikih Mazhab Syafii terkemuka. Kitab yang sering dikutipnya adalah Raudhah Al-Thalibin dan Al-Manhaj karangan Al-Nawawi. Langsung saja kita bahasa mengenai Qaidah yang pertama dalam kitab Al-Asybah Wa An-Nazhair


Qaidah pertama adalah al-Umur bi Maqasidiha yaitu setiap perkara tergantung dengan tujuan/niatnya.


Yang menjadi dalil dasar dari qaidah ini adalah Sabda Nabi SAW

1. Hadis إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

(Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya)


Hadis tersebut berstatus shahih dan masyhur yang diriwayatkan oleh Aimmatussittah (Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah) dan selain mereka dari Umar bin Khattab ra.  dan yang mengejutkan adalah  bahwa Imam Malik tidak mengeluarkan hadis tersebut di kitab Muatta'nya.

Ibnu Asy'ats juga mentakhrij hadis ini dalam kitab sunannya dari Ali bin Abi Thalib ra., al-Daruqutni dalam Gharaib Malik, Abu Nu'aim dalam hilliyah dari hadisnya Abi Sa'id al-Khudhri, tidak ketinggalan Ibnu 'Asakir juga menyebutkan hadis ini dalam kitab amali dengan bersumber dari hadis Anas ra.


2. Hadis لَا عَمَلَ لِمَنْ لَا نِيَّةَ لَهُ 

(Tidak ada amalah bagi orang-orang yang tidak ada niat)

Hadis ini diriwayatkan oleh imam al-Baihaqi dalam kitab sunannya dari Anas ra.



3. Hadis نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ 

(niat seorang mukmin lebih baik dari amalnya)

Hadis ini terdapat dalam kitab Mu'jam al-Kabir dari hadis Sahal bin Sa'id dan al-Nawas bin Sam'an, dan dalam musnad firdaus milik al-Dailami dari hadis Abu Musa.



4. Hadis إنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إلَّا أُجِرْتَ فِيهَا حَتَّى مَا تَجْعَلَ فِي فِي امْرَأَتِكَ

(Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan harta yang engkau niatkan karena Allah kecuai diberikan pahala atas niat tersebut hingga apa saja yang kamu perbuat pada istrimu)

Hadis tersebut terdapat dalam al-Shahih dari hadis Sa'ad bin Abi Waqas. Dan dari hadisnya Ibnu Abbas وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ (akan tetapi yang ada hanyalah jihad dan niat). Dan dalam kitab musnad milik imam Ahmad, hadis dari Ibnu Mas'ud رُبَّ قَتِيلٍ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِنِيَّتِهِ (tiadalah orang yang berperang antara dua golongan, padahal Allah lebih mengetahui niatnya)


Menurut Ibnu Majah dari hadis Abu Hurairah dan Jabir bin Abdillah

يُبْعَثُ النَّاسُ عَلَى نِيَّاتِهِمْ 
(manusia dibangkitkan dari kubur sesuai dengan niatnya masing²)

Dan dalam al-Sunan al-Arba'ah hadis dari 'Uqbah bin Amir

إنَّ اللَّهَ يُدْخِلُ بِالسَّهْمِ الْوَاحِدِ ثَلَاثَةً الْجَنَّةَ، وَفِيهِ: وَصَانِعُهُ يَحْتَسِبُ فِي صَنْعَتِهِ الْأَجْرَ 

(Sesungguhnya Allah akan memasukan tiga golongan ke dalam surga disebabkan satu anak panah; Pembuatnya yang mengharapkan ganjaran dalam membuatnya, yang memanahkannya, dan yang mengasongkannya)


Dan menurut al-Nasa'i hadis dari Abi Dzar

مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنُهُ حَتَّى يُصْبِحَ كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى 

(Barang siapa yang mendatangi tempat tidurnya dan berniat akan bangun untuk mendirikan shalat di waktu malam, kemudian mengantuklah kedua matanya hingga tertidur sampai subuh, maka Allah tuliskan baginya pahala apa yang telah ia niatkan).


Dalam kitab Mu'jam al-Thabrani dari hadisnya Syuhaib

أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَنَوَى أَنْ لَا يُعْطِيَهَا مِنْ صَدَاقِهَا شَيْئًا مَاتَ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ زَانٍ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ اشْتَرَى مِنْ رَجُلٍ بَيْعًا فَنَوَى أَنْ لَا يُعْطِيَهُ مِنْ ثَمَنِهِ شَيْئًا مَاتَ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ خَائِنٌ 

(Siapa saja yang menikahi seorang perempuan lalu berniat untuk tidak memberikan maskawinnya, jika pada suatu saat dia mati maka dia mati sebagai seorang pezina. Dan siapa saja yang membeli sesuatu dari seseorang dan berniat untuk tidak memberikan harganya, maka dia mati sebagai seorang penghianat)


Dan dalam Mu'jam al-Thabrani juga terdapat hadis dari Abu Umamah

مَنْ ادَّانَ دَيْنًا وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يُؤَدِّيَهُ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ ادَّانَ دَيْنًا وَهُوَ يَنْوِي أَنْ لَا يُؤَدِّيَهُ فَمَاتَ قَالَ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: ظَنَنْتَ أَنِّي لَا آخُذُ لِعَبْدِي بِحَقِّهِ؟ فَيُؤْخَذُ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَتُجْعَلُ فِي حَسَنَاتِ الْآخَرِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ الْآخَرِ، فَجُعِلَتْ عَلَيْه 
(Barang siapa behutang dan berniat membayarnya, maka pasti Allah akan melunasinya pada hari kiamat. Dan barang siapa berhutang dengan niat tidak membayarnya, maka kemudian ia mati, maka Allah berfirman, “Engkau menyangka bahwa Aku tidak akan mengambil hak hamba-Ku, maka diambillah kebaikan-kebaikannya kemudian diletakkan pada kebaikan yang lain (yang menghutangi). Apabila ia tidak memiliki kebaikan, maka keburukan yang menghutangi akan diletakkan pada orang yang berhutang.



Sumber Kajian Teks: Jalaluddin Al-Suyuthi, Asybah Wa al-Nadzair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1984), 8-9.
Abd Hamid Majid

Seorang Mahasiswa Universitas di Jawa Timur, Indonesia

Post a Comment

Previous Post Next Post