Ilmu pengetahuan Barat tentang Islam dianggap berkaitan dengan ilmu pengetahuan Orientalis, istilah ini sangat populer pada abad ke-19. Orientalis mendefinisikan diri mereka sebagai seniman Barat yang terinspirasi oleh sarjana Timur ataupun orang Barat yang mempelajari bahasa, agama, dan budaya Timur.
Dari sinilah pengetahuan Barat tentang al-Qur’an awal mula dikembangkan. Namun, tidak dapat disangkal bahwa ilmu pengetahuan Orientalis mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap uraian al-Qur’an secara historis dan kontemporer di Barat.
Pada era pemerintahan Muslim Spanyol di Eropa terjadi interaksi luas antara Muslim, Yahudi dan Kristen. Periode ini tepatnya pada tahun 711-1492 M. Dalam periode ini antara budaya Muslim, Yahudi dan Kristen saling hidup berdampingan dan damai meskipun kerap kali terjadi dialog dan debat agama.
Peradaban Islam pada periode ini sungguh menakjubkan. Tidak saja secara militer, peradaban Islam abad pertengahan dalam berbagai sisinya, baik secara ekonomi maupun budaya dan ilmu pengetahuan menunjukkan kepada dunia bahwa Islam benar-benar maju pada masa itu. Perkembangan ilmu pengetahuan dan al-Qur’an di Barat dibagi menjadi beberapa periode antara lain:
Periode Andalusia
Perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu terlihat menonjol dari keberadaan lebih dari 70 perpustakaan dan ratusan ribu buku di ibu kota Andalusia, Cordoba. Era yang oleh para sejarawan disebut dengan era keemasan Islam ini bersamaan dengan era kegelapan abad pertengahan.
Gesekan budaya dan intelektual akibat perjumpaan antara Islam dan Barat inilah yang menyebabkan mereka saling mempengaruhi. Periode ini mulai memudar pada tahun 1031 ketika Khilafah Cordoba berakhir.
Aturan Muslim secara bertahap berakhir pada abad ke-15 ketika seluruh Spanyol berada di bawah kendali penguasa Kristen. Dan parahnya, penganut agama Islam dan Yahudi dipaksa keluar dari agamanya dan berpindah ke agama Kristen.
Jika ditelusuri, kebangkitan peradaban Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan dan kegiatan intelektual di Cordoba ini pada masa pemerintahan Al-Makmun (813-833), dalam periode ini dapat dikatakan sebagai langkah awal kebangkitan peradaban Islam.
Dari mulai berdirinya Bayt al-Hikmah di Baghdad yang menjadi pusat kegiatan ilmiah sampai berdirinya perpustakaan yang berisi tidak kurang dari 100.000 volume, boleh jadi sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2.300 buah al-Qur’an berhiaskan emas dan perak yang disimpan di ruang terpisah. Dalam masa itu banyak karya Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, gerakan penerjemahan itu banyak dibantu oleh orang-orang Kristen dan Majusi.
Menjelang akhir kemunduran Cordoba, orang Eropa di luar Spanyol mulai menjalin dan memperdalam kontak budaya dengan Islam. Terutama setelah pengambilalihan Toledo oleh pasukan Kristen pada tahun 1085, ketika Uskup Agung Katolik Don Roymundo (1125-1151) dan Kepala Biara Cluny di Prancis, Petrus Venerabilis (1094-1156) memulai misi intelektual sebagai bagian dari proyek untuk menerjemahkan teks-teks Arab ke dalam bahasa Latin, termasuk al-Qur’an.
Proses "pelatinan" teks-teks Arab ini, khususnya al-Qur'an, menimbulkan kontroversi yang berkelanjutan, karena penerjemahan al-Qur'an berlangsung dalam suasana batin yang kurang akrab antara Barat Kristen dan Barat Arab Islam. Sebuah lingkungan di mana Islam dan Kristen bersaing untuk saling mempengaruhi dan menguntungkan.
Selama masa tersebut, dalam lingkungan persaingan antara Islam dan Kristen Barat, karya-karya terjemahan yang mereka ciptakan mempengaruhi pembentukan opini tentang Islam melalui terjemahan al-Qur'an mereka.
Fakta ini berasal dari pandangan yang dikembangkan oleh Petrus Venerebelis bahwa orang Kristen harus mulai memerangi Muslim “bukan seperti yang sering dilakukan masyarakat kita, yaitu dengan senjata, tetapi dengan kata-kata”.
Teks yang diduga merupakan sanggahan pertama terhadap al-Qur’an adalah Teks Arab yang berhasil diterjemahkan yaitu sebuah dokumen yang dinamai risalah al-Kindi, yang di ketahui telah ditulis oleh seorang kristen Yakobit atau Nestorian pada abad ke-3 di bawah nama samaran al-Kindi.
Dalam teks ini ada suatu pernyataan bahwa al-Qur'an itu tidak orisinal/asli dan telah banyak dipengaruhi oleh seorang pendeta Kristen bernama Sergius, atau Nestorius yang ingin meniru Injil.
Periode Kekaisaran Ottoman
Perkembangan ilmu pengetahuan dan al-Qur’an di Barat selanjutnya terdorong oleh hadirnya periode Muslim Utsmani Awal (1450-1700). Pada periode ini, beberapa orang Eropa, seperti teolog Spanyol termotivasi untuk memperdalam pemahaman tentang Islam, karena mereka mempunyai tujuan ingin menciptakan kehidupan yang rukun, damai, dan sejahtera dengan umat Islam.
Pada periode ini pusat studi Islam dan bahasa Arab terletak di Italia, karena mesin cetak teks Arab dipasang di Venesia dan Roma. Pada abad ke-16, sebuah studi penting tentang studi Islam dan Arab dimulai di universitas.
Pada tahun 1575, Studi Oriental didirikan di Universitas Leiden dan pada tahun 1593 Joseph Justus Scaliger diangkat sebagai Profesor Bahasa Arab. Scaliger berpendapat bahwa akademisi harus mengakui Al-Qur'an untuk memahami budaya Muslim dan Arab untuk diri mereka sendiri, bukan hanya untuk tujuan kontroversial.
Era Orientalis
Kata orientalis berasal dari kata “Orient” yang berarti Timur. Perkembangan kata “orientalisme” selanjutnya ditujukan kepada orang-orang Kristen yang melakukan studi terhadap Islam dan bahasa Arab.
Ada pula yang lebih umum dalam mendefinisikannya, yang memaknai orientalisme adalah istilah umum dan luas yang meliputi semua kegiatan kelompok-kelompok yang melakukan studi ketimuran, baik ilmu pengetahuan, seni, sastra agama dan sejarah. Salah satu objek kajian kaum orientalis adalah tentang makna dan sejarah Islam.
Pada periode setelah kekaisaran Utsmani pada abad ke 18 ini muncullah istilah orientalisme. Berbagai versi al-Qur’an mulai diterbitkan dan dipublikasikan serta pada periode ini juga banyak para pemikir Barat mulai mempertanyakan secara terbuka mengenai dasar-dasar agama, khususnya Kristiani dan gereja.
Pada masa ini lembaga pengajaran baru telah muncul di Paris dan Wina yang di dalamnya berisi tentang pengajaran secara kursus baik bahasa maupun budaya Islam. Di Inggris juga ada beberapa orang yang menerbitkan terjemahan al-Qur’an berbahasa Inggris. Edisi bilingual al-Qur’an juga menjadi semakin umum, dan Universitas Eropa mulai memperluas program studi bahasa Arab dan studi Islam dengan memasukkan pengetahuan dan analisis al-Qur’an.
Pada ketiga periode di atas sangatlah terlihat bahwasanya al-Qur’an semakin berkembang di seluruh penjuru Eropa, tak hanya Universitas saja yang menerapkan studi Islam yang berisikan al-Qur’an tetapi tempat pembelajaran secara umum juga banyak di jumpai di negara-negara tetangga yang tidak lain juga pembelajaran tersebut membahas mengenai pengetahuan al-Qur’an.
Para sarjana Barat sangat antusias dengan perkembangan studi al-Qur’an, tetapi karena keterbatasan kuantitas ilmu pengetahuan yang pada saat itu terus meningkat maka studi Islam dipindah yang pada awalnya adalah sub-bagian dari studi Oriental, menjadi bidang ilmu pengetahuan akademik yang independen.
Dengan adanya perkembangan tersebut, terjadilah banyak peningkatan dalam bidang studi bahasa Arab yang banyak menghasilkan publikasi tentang sejarah kebudayaan, politik, dan agama Islam serta meningkatnya terjemah dan analisis terhadap teks sejarah dan keagamaan Islam terutama al-Qur’an. Wallahu A'lam.