Studi tentang Islam terutama al-Qur’an telah muncul sebagai bidang ilmu pengetahuan Barat yang signifikan muncul sejak abad ke-20. Pada abad ini, ilmu pengetahuan Islam di Barat telah berkembang berbagai macam pendekatan terhadap studi al-Qur’an. Tetapi pada abad ke-20 juga terdapat perpecahan akibat kesenjangan tradisional antara dunia Barat dan dunia Muslim.
Hal ini berakibat terhadap banyaknya jumlah para sarjana yang berkolaborasi secara lintas iman dan negara asal serta mengkombinasikan pendekatan Islam tradisional dan pendekatan Barat dalam studi mereka tentang Islam dan al-Qur’an.
Dalam memahami atau mempelajari al-Qur’an sangat penting bagi kita untuk memahami juga aspek dan bentuk pendekatan di dalamnya, baik oleh orang Muslim, maupun oleh para sarjana Barat. Berikut ini adalah para sarjana barat dan karyanya dalam studi al-Qur’an.
Theodor Noldeke
Theodor Noldeke adalah sarjana yang berasal dari Jerman yang menyebut al-Qur’an hanyalah buku yang di dalamnya tersusun sebuah kata-kata dan huruf-huruf yang tidak teratur. Theodor Noldeke berpandangan buruk terhadap al-Qur’an sehingga ia terdorong menata ulang al-Qur’an menjadi bentuk yang lebih kronologis.
Ia menata al-Qur’an dengan mulai menyusun kata dan paragraf-paragraf ayat yang puitis secara bertahap. Ia juga salah satu sarjana pertama yang menata ulang susunan al-Qur’an. Karya Theodor Noldeke banyak dipuji oleh beberapa orang sebagai studi al-Qur’an yang pertama dan benar-benar ilmiah.
John Wansbrough, Patricia Crone dan Michael Cook
John Wansbrough adalah salah satu orang utama yang mendukung pendekatan “revisionis” al-Qur’an. ia adalah sarjana Inggris yang karyanya merupakan sebuah hasil dari pengujian terhadap bukti penerimaan dan kanosisasi al-Qur’an.
Di antara pemikirannya terhadap al-Qur’an adalah bahwa al-Qur’an belum selesai sampai sekitar 150 tahun setelah meninggalnya nabi, dan pandangan tradisional mengenai pengompilasian al-Qur’an hanyalah sejarah penyelamatan atau mitos yang dulunya diciptakan oleh orang-orang Muslim. Ada beberapa sarjana lain yang mengadopsi pendekatan revisionis antara lain Michael Cook, Christoph Luxenberg dan Gerd Puin.
Patricia Crone dan Michael Cook sama halnya dengan John Wansbrough, keduanya menyebut bahwasanya Islam sebagai “Hajarisme”, berdasarkan klaim Nabi Muhammad yang menyatakan sebagai keturunan dari budak istri nabi Ibrahim, Siti Hajar. Mereka juga menyebut agama Islam asalnya adalah bentuk Yudaisme yang dipraktikkan oleh pengikut Hajar.
Dalam karya mereka terdapat banyak ide baru tetapi pada saat itu banyak sarjana Muslim maupun non-muslim yang menyerang, karena karya tersebut dianggap mengandalkan sumber-sumber yang bertentangan.
Andrew Rippin
Andrew Rippin juga dikenal karena menantang pandangan tradisional tentang sejarah Islam. Dia dianggap sebagai interpretator Wansbrough yang paling banyak dirujuk.
Argumentasi yang dikemukakan oleh Andrew Rippin tentang sejarah dan interpretasi al-Qur'an antara lain bahwa al-Qur'an harus dipahami dalam konteks tauhid yang lebih luas, bukan hanya dalam lingkup Arab dan juga harus diletakkan dalam situasi tradisi sastranya. Reaksi orang-orang terhadap karya Andrew Rippin beragam. Para ilmuwan menuduh Rippin membuang sejarah sesuka hati untuk analisis sastra saja.
Christop Luxenberg
Luxenberg berpendapat bahwa pemahaman Al-Qur'an saat ini didasarkan pada kesalahpahaman tentang konteks dan fungsi aslinya. Mungkin salah satu klaimnya yang paling terkenal adalah bahwa kata hurin, yang sering diterjemahkan sebagai teman muda atau perawan di surga yang sebenarnya adalah kata bahasa Aramaik yang artinya kismis putih atau anggur putih.
Gerd Puin
Menurut pendapat Gerd Puin bahwa al-Qur’an adalah sekumpulan teks yang tidak sepenuhnya dipahami bahkan pada masa Nabi Muhammad sekalipun. Pernyataan ini didasarkan pada studi Puin terhadap sebagian dari 15.000 lembaran kertas kuno yang ditemukan di Yaman tahun 1972, dan dikatakan mengandung banyak rekaman dan catatan ayat-ayat al-Qur'an yang diketahui paling tua.
Gerd Puin mengklaim bahwa teks Quran yang ditemukan di Yaman memiliki urutan ayat dan variasi teks yang tidak biasa. Dia percaya bahwa seperlima dari teks al-Qur'an tidak dapat dipahami dan dengan menunjukkan bahwa Al-Qur'an memiliki sejarah.
Richard Bell dan William Montgomery Watt
Kedua sarjana ini memiliki karya yang menguraikan latar belakang sejarah kehidupan dan karakter nabi Muhammad SAW dan menjelaskan pandangan para sarjana Muslim dan Barat mengenai sejarah, bentuk dan kronologi al-Qur’an. Richard Bell adalah seorang sarjana Islam, Dia menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menyelidiki kemungkinan pengaruh agama Kristen pada Islam mulai dari struktur, kronologi, dan komposisi al-Qur'an.
Secara umum, karya Bell dianggap sebagai kontribusi yang sangat berharga di bidangnya yang telah membantu mengalihkan fokus ilmu pengetahuan Barat dari teori-teori tentang al-Qur'an ke studi teks Al-Qur'an yang sebenarnya.
Berbeda dengan Richard Bell, William Montgomery Watt percaya bahwa al-Qur’an datang dari Allah dan percaya bahwa al-Qur’an adalah firman tuhan untuk waktu dan tempat tertentu.
Sarjana Muslim di Barat
Seiring bertambahnya jumlah sarjana Muslim di universitas-universitas Barat, pendekatan baru terhadap Al-Qur'an telah dimulai, diawali dengan menggabungkan metode Islam tradisional dengan teori-teori modern di bidang-bidang seperti linguistik dan feminisme. Di antara para cendekiawan ini adalah tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman, Amina Wadud, Mohammed Arkoun, dan Khaled Abou El Fadl.
Dari beberapa tokoh sarjana Barat di atas ternyata banyak juga teori sarjana Barat yang tidak searah dengan isi atau kandungan al-Qur’an yang sebenarnya.
Dari beberapa teori atau pemikiran sarjana Barat yang menyimpang dengan Islam banyak juga sarjana atau cendekiawan Muslim yang ikut andil dalam menentang pemikiran tersebut sehingga pemikiran yang salah atas studi al-Qur’an bisa terpatahkan dengan pemikiran sarjana Muslim yang percaya bahwa al-Qur’an adalah firman tuhan yang ilmiah dan bisa diterapkan di seluruh kalangan manusia serta tidak akan sirna sepanjang zaman. Wallahu A'lam.