Artikel ini adalah artikel lanjutan dari Kelompok Ingkar Al-Sunnah yang tak lain adalah kelompok-kelompok aliran kalam yang lahir pada masa Khalifah Sayyidina Ali ra. Simak keterangan di bawah ini agar para pembaca tidak salah memahami paham-paham aliran kalam.
Ilmu kalam adalah ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar di dalam agama Islam. Ajaran-ajaran dasar itu menyangkut wujud Allah, kerasulan Muhammad, al-Qur’an, dan sebagainya. Ilmu kalam juga mengidentifikasikan akidah-akidah pokok dan berupaya membuktikan keabsahannya dan menjawab keraguan terhadap akidah-akidah pokok tersebut.
Sejarah ilmu kalam yang lahir karena terbunuhnya khalifah Utsman bin ‘Affan menjadi pintu awal keberangkatan ilmu kalam. Pemikiran yang lahir akibat perbedaan sebuah penafsiran mengenai ketuhanan dan permasalahan tentang dosa besar. Konsep dosa besar ini diadakan oleh kaum khawarij yaitu kaum yang keluar dari golongan Ali bin Abi Thalib karena tidak menyetujui diadakan tahkim dan menganggap tahkim itu sebagai dosa besar. Pemikiran-pemikiran kalam telah ada sejak permulaan perkembangan ilmu kalam.
Apa itu ilmu kalam??
Secara etimologis Ilmu kalam adalah prasa yang terbentuk dari dua kata, yaitu “Ilmu” dan “Kalam”. Prasa ini ingin menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah ilmu tentang kalam. Kata “Ilmu” merupakan kata yang suci, dimana Allah menjadikannya sebagai salah satu namanya (al-‘alim). Al-‘Alim berarti yang maha mengetahui. dalam bahasa arab kata al-Ilmu berakar dari tiga huruf, yaitu: ‘Ain, lam dan mim: ‘alima - ya’lamu – ‘Ilman, yang berarti pengetahuan. Ahmad Warson Munawwir dalam kamusnya Al-Munawwir, menerjemahkan kata ilmu dari wazan ‘Af’ala, yuf’ilu yang berarti mengerti atau memahami benar . Kata “Kalam” merupakan kata yang penuh makna, yang senantiasa dikaji dan dipahami oleh para ahli. Kalam berarti “percakapan” atau “ucapan”
Secara terminologi ilmu kalam ialah ilmu yang mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah pokok islam (ushuluddin), secara teknis, kalam adalah alasan atau argumen rasional. Alasan atau argumen tersebut diberikan untuk memperkuat perkataan, sedikit maupun banyak. Alasan atau argumen tersebut dapat digunakan untuk setiap bentuk pembicaraan atau ekspresi suara, yang berturut-turut sehingga pesan-pesan suara itu jelas maksudnya.
Ilmu kalam adalah ilmu yang mengandung argumen-argumen rasional untuk membela akidah-akidah imaniyah dan mengandung penolakan terhadap golongan bid’ah yang dalam akidah menyimpang dari madzhab salaf dan madzhab Ahl al-Sunnah. Ilmu kalam adalah ilmu yang mampu membuktikan kebenaran akidah islam dan menghilangkan kebimbangan dengan mengemukakan hujjah atas argumentasi. Ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandasan doktrin islam.
Sampai di sini
jelas bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang membahas masalah
argumentasi-argumentasi keimanan dalam islam. Bermula dari kalam Allah, sebagai
khalifah-Nya di muka bumi, menjadi kalam manusia. Kalam ini banyak dibicarakan,
yang tentunya terkait dengan eksistensi Tuhan sekaligus eksistensi manusia.
Mempelajari tentang ilmu kalam, berarti berusaha menguatkan iman dari rongrongan
akidah orang-orang kafir, sekaligus untuk meyakinkan diri dan menentramkan
hati.
Awal Mula Munculnya Persoalan Kalam
Dalam sejarah perkembangan pemikiran islam, ilmu kalam lahir lebih belakangan dibanding ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu hadis dan ilmu fiqih. Ilmu kalam tidak lahir secara spontan, melainkan telah melalui proses dan melintasi kurun waktu yang cukup panjang, yang di dahului oleh munculnya berbagai persoalan kalam. Setiap suatu persoalan kalam muncul, pastilah muncul pula pendapat yang berbeda bahkan saling bertentangan, yang pada gilirannya melahirkan aliran. Sehingga aliran kalam pun mendahului lahirnya ilmu kalam itu sendiri.
Persoalan kalam bukan yang pertama muncul di dunia islam sepeninggal Rasulullah SAW, dan bukan pula sebagai hasil perenungan langsung terhadap masalah-masalah teologi yang termuat dalam sistem akidah islam. Bermuara dari kemelut politik yang kemudian merambat ke masalah kalam.
Dalam fenomena dan pergumulan politik ini kemudian berujung pada dinamika kalam, akan dikemukakan secara ringkas dalam uraian berikut.
1. Abu Bakar khalifah pertama (632-634 M/11-13 H)
Pada pertemuan Saqifah Bani Sa’adah, hari kedua setelah Nabi wafat dan jasad beliau masih di pembaringan, beberapa tokoh sahabat dari pihak Anshar dan dua tokoh Muhajirin. Abu Bakar dan Umar, bersepakat memilih dan membaiat Abu Bakar sebagai khalifah pertama menggantikan nabi Muhammad SAW memimpin negara islam. Setelah Abu Bakar, jabatan khalifah dilanjutkan oleh Umar bin Khattab, kemudian di gantikan oleh Utsman bin Affan, lalu oleh Ali bin Abi Thalib. Para sahabat yang empat ini, di dunia islam dikenal dengan julukan Khulafa’ al-Rasyidin.
Pada masa pemerintahan dua orang khalifah pertama, Abu Bakar dan Umar, roda pemerintahan berjalan dengan baik dan situasi politik negara islam sangat stabil. Namun pada masa kekhalifahan Utsman bi Affan, situasi politik dalam negeri mulai berubah, terutama dalam kurun waktu parohan kedua dari dua belas tahun masa kekhalifahannya. Memasuki enam tahun kedua, khalifah Utsman dinilai oleh sebagian sahabat telah memperlihatkan kebijaksanaan politik yang tidak bijaksana. Misalnya, beliau dipandang melakukan kebijakan politik bernuansa nepotis, cenderung mengutamakan orang dekat dan kalangan keluarga.
Melihat adanya kebijakan khalifah Utsman yang dinilai kurang tepat, ditambah tindakan para pembantunya yang tidak terpuji, sebagian sahabat yang semula mendukung khalifah Utsman menjauh. Di Mesir sebagai reaksi terhadap perilaku gubernur Abdullah ibn Sarh, yang bertindak semena-mena terhadap rakyatnya, sejumlah pengunjuk rasa berkumpul dan berangkat menuju Madinah pada tahun 656 M menghadap khalifah Utsman untuk menyampaikan keberatan mereka tentang pergantian gubernur sebelumnya, seraya menyampaikan ketidaksenangan mereka akan perilaku gubernur yang baru. Kehadiran kelompok pengunjuk rasa dari Mesir ini ternyata berakibat buruk dan fatal bagi khalifah Utsman, beliau wafat terbunuh mengenaskan oleh oknum pengunjuk rasa.
Kematian khalifah Utsman yang tragis ini menjadi benih perpecahan di kalangan kaum muslimin, suasana saling mencurigai saling muncul dan api dendam semakin berkobar, terutama dari pihak keluarga Utsman, yang tokoh sentralnya adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada saat itu juga tahun 656 M khalifah Ali bin Abi Thalib dipilih dan di baiat, akan tetapi suasana politik umat islam semakin keruh dan kisruh. Khalifah Ali bin Abi Thalib menghadapi dua kubu oposisi Thalhah-Zubeir dan kubu Mu’awiyah. Penyebabnya ialah kesalahpahaman antara ‘Aisyah kepada Ali bin Abi Thalib, dan Aisyah juga menginginkan keadilan atas terbunuhnya khalifah terdahulu yakni Utsman bin Affan.
Kubu Thalhah dan Zubeir, yang didukung oleh Aisyah ra menolak mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan berambisi menduduki jabatan khalifah. Oposisi dari pihak Thalhah dan Zubeir ini memuncak pada bentrok bersenjata, yang dikenal dengan peristiwa perang jamal yang terjadi pada tahun 656 Masehi. Dalam pertempuran ini pihak khalifah Ali berhasil mengatasi kubu oposisi.
Kini khalifah masih menghadapi kubu oposisi dari pihak Mu’awiyah. Konflik politik dengan kubu ini ternyata tidak dapat pula diselesaikan secara damai melalui perundingan berdasarkan semangat ukhuwah islamiah. Dua pasukan tentara pun bertemu di medan perang yang terkenal dengan nama perang siffin yang terjadi di tebing sungai furat Syiria tahun 37 H. Di tengah berkecamuknya pertempuran, pasukan khalifah Ali terus mendesak pasukan Mu’awiyah yang semakin lemah hingga pasukan Mu’awiyah meminta untuk damai, perang pun dihentikan dan persoalan politik selanjutnya akan diselesaikan melalui tahkim atau arbitrase. Untuk melaksanakan tahkim kedua pihak mengutus seorang wakil. Pihak khalifah Ali mengutus wakilnya Abu Musa al-Asy’ari dan Mu’awiyah mengutus wakilnya Amr bin Ash. Akan tetapi kedua tokoh pelaksana tahkim ini, demikian menurut sejarah, telah bersepakat untuk menurunkan kedua tokoh, Ali dan Mu’awiyah. Akan tetapi salah satu dari tokoh tersebut berkhianat yaitu Amr bin Ash yang mengumumkan hasil tahkim dengan menyampaikan kesepakatan menurunkan khalifah Ali dan menolak penurunan Mu’awiyah. Bahkan ia mengumumkan pengukuhan Mu’awiyah sebagai khalifah.
Hasil tahkim yang dinodai kecurangan dan pengkhianatan oleh Amr bin Ash ini sangat merugikan pihak khalifah Ali dan menguntungkan Mu’awiyah. Walau hasil tahkim yang dinodai kelicikan ini sudah diumumkan, namun khalifah yang sah sebenarnya adalah Ali bin Abi Thalib, sedangkan Mu’awiyah tidak lebih dari itu, hanya seorang gubernur yang membangkang. Namun dengan tahkim tersebut, paling tidak, telah mengangkat kedudukan Mu’awiyah menjadi khalifah yang tidak resmi. Sehingga, sepeninggal Ali, Mu’awiyah otomatis dan dengan mudah menjadi khalifah resmi.
2. Dari masalah politik ke masalah kalam
Melihat hasil tahkim yang demikian, kelompok dari barisan khalifah Ali kontan menolak dengan keras dan mereka menyalahkan kebijakan tahkim itu sendiri. Kelompok yang tidak setuju dengan tahkim ini akhirnya mengambil sikap ekstrem keluar dari barisan khalifah Ali. Karena itulah, kelompok ini terkenal dengan sebutan kaum khawarij. Kaum khawarij berpendapat bahwa kasus antara Ali dan Mu’awiyah tersebut tidak boleh diselesaikan melalui tahkim oleh manusia, keputusan hanya datang dari/oleh Allah, dalam arti kembali kepada hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an.
Lebih lanjut mereka berpendapat, orang yang menghakimi atau memutuskan sesuatu tidak berdasarkan hukum Allah, al-Qur’an adalah melakukan dosa besar, pelaku dosa besar adalah kafir, dan darah orang kafir itu halal. Oleh sebab itu, para pelaku dan yang menerima hasil tahkim adalah pelaku dosa besar, telah kafir dan harus dibunuh.
Dengan digunakannya istilah kafir oleh khawarij, diskusi kalam semakin marak menjadi diskusi tentang status pelaku dosa besar. Al-Murtakib al-Kabair, yang kemudian melahirkan diskusi tentang definisi dan kriteria iman. Diskusi tentang status pelaku dosa besar, dalam arti apakah masih mukmin atau sudah menjadi kafir, ini kemudian berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran dan aliran kalam di dunia islam. Demikian masalah kalam atau teologi muncul di dunia islam bermula dan bermuara dari fenomena politik, sejak kaum khawarij menggunakan istilah kafir terhadap lawan politik mereka, persoalan politik sudah berubah menjadi persoalan kalam. Istilah kafir ini kemudian lebih dominan dihubungkan dengan pelaku dosa besar, dan sejak itu satu per satu tema kalam bermunculan dan melahirkan berbagai paham serta aliran di dunia islam
Persoalan di atas telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, yaitu sebagai berikut:
a. Aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
b. Aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
c. Aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Orang yang serupa ini mengambil posisi di antara kedua posisi mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arabnya terkenal denga istilah ¬al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Alirah Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi, kecuali dalam sejarah yang masih ada sampai sekarang adalah aliran-aliran Asy’ariyah dan Mathuridiyah dan kedua tersebut Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dalam islam, timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan nama Qadariyah dan Jabariyah, menurut Qadariyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan per buatannya. Sebaliknya Jabariyah.
Bersambung...
Bersambung...
Tags:
KEISLAMAN