Bagaimana kedudukan dan fungsi hadis terhadap penafsiran al-Qur'an?
Berdasarkan petunjuk al-Qur’an, hadis merupakan sumber ajaran islam kedua setelah al-Qur’an. Itu berarti, untuk mengetahui ajaran islam yang benar selain diperlukan petunjuk al-Qur’an juga diperlukan petunjuk hadis nabi SAW. Argumentasi lain yang dikemukakan para ulama dalam memposisikan hadis pada posisi kedua setelah al-Qur’an adalah melihat fungsi hadis yang menjadikan penjelas dan penjabar al-Qur’an. Sudah nyata bahwa sesuatu yang dijelaskan (al-Mubayyan) yaitu al-Qur’an kedudukannya lebih tinggi daripada hadis sebagai al-Bayan. Dengan demikian, keberadaan hadis sebagai al-Bayan tergantung pada keberadaan al-Qur’an sebagai al-Mubayyan. Keadaan ini tentu menunjukkan bahwa al-Qur’an di dahulukan dari hadis dalam hal status tingkatannya.
Al-Qur’an dan hadis merupakan pedoman hidup dan sumber ajaran islam yang tidak dapat dipisahkan. Al-Qur’an sebagai sumber pertama memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan diperinci. Oleh karena itu, disinilah perlunya hadis hadir sebagai penjelas terhadap al-Qur’an, dalam surat an-Nahl ayat 44 Allah berfirman:
وَأَنْزَلْنَآ إلَيْكَ الذِّكْرَ لَتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إلَيْهِم ولَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan kami turunkan kepadamu az-Zikr (al-Qur’an) agar engkau menjelaskan kepada manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka, mudah-mudahan mereka berfikir”
Fungsi Rasulullah sebagai penjelas atau bayan al-Qur’an bermacam-macam. Imam Malik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayan al-Taqrir, bayan al-Tafsir, bayan al-Tafshil, bayan al-Basth, dan bayan at-Tasyri’. Imam as-Syafi’i menyebutan lima fungsi, yaitu bayan al-Tafshil, bayan at-Takhshish, bayan at-Ta’yin, bayan at-Tasyri’, dan bayan an-Nasakh. Imam Ahmad bin Hambal menyebutkan empat macam fungsi, yaitu bayan at-Ta’kid (bayan taqrir), bayan at-Tafsir, bayan at-Tasyri’, dan bayan at-Takhshish dan taqyid. Akan tetapi, yang paling masyhur dikalangan ulama’ ada empat yaitu bayan al-Taqrir/al-Ta’kid, bayan al-Tafsir, bayan al-Tasyri’ dan bayan an-Naskh
1. Bayan al-Taqrir
Bayan al-Taqrir ini disebut juga bayan al-Ta’kid dan bayan al-Itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Seperti surah al-Maidah ayat 6 tentang keharusan berwudhu’ sebelum shalat yaitu
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا إذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوْهَكٌمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى المَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوْسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka hendaklah kamu basuh muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
Ayat diatas di taqrir oleh hadis riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi:
قال رسول الله : لاتقبل صلاة من أحدث حتى يتوضأ {رواه البخاري}
“Rasulullah telah bersabda: tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia berwudhu’.”
Menurut sebagian ulama’ bahwa bayan al-Taqrir atau bayan al-Ta’qid ini disebut juga dengan bayan al-Muwafiq li Nas al-Kitab al-Karim. Hal ini karena munculnya hadis-hadis itu sesuai dan untuk memperkokoh nas al-Qur’an.
2. Bayan al-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-Tafsir adalah penjelasan hadis terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal, muthlaq,dan ‘am. Maka fungsi hadis dalam hal ini, memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal dan memberikan taqyid ayat-ayat yang masih muthlaq, dan memberikan takhsis ayat-ayat yang masih umum
a. Memerinci ayat-ayat yang mujmal
Menafsirkan serta memperinci ayat-ayat yang masih mujmal (bersifat global). Contohnya, seperti penjelasan hadis Nabi SAW tentang tata cara pelaksanaan shalat:
... وَصَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّى ...{رواه البخاري}
“… Dan shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat …”
Dari hadis di atas bahwa secara fi’li Nabi SAW mendemonstrasikan tata cara pelaksanaan sholat dihadapan para sahabat, mulai dari yang sekecil-kecilnya, seperti kapan dan cara mengangkat tangan ketika bertakbir, sampai kepada hal-hal yang harus dilaksanakan dan merupakan rukun dalam pelaksanaan shalat, seperti membaca surat al-Fatihah, sujud, rukuk, serta jumlah rakaat masing-masing shalat dan sebagainya. Dengan demikian, maka hadis di atas menjelaskan bagaimana seharusnya shalat dilakukan, sebagaimana perincian dari perintah Allah dalam surat al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi:
وَأَقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat…”
b. Men-taqyid ayat-ayat yang muthlaq.
Kata muthlaq artinya kata yang menunjukkan pada hakikat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid dan muthlaq artinya membatasi ayat-ayat yang muthlaq dengan sifat, keadaan atau syarat-syarat tertentu. Penjelasan Rasul SAW yang berupa men-taqyid ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat muthlaq, antara lain dapat dilihat pada sabdanya, yang berbunyi:
لاتقطع يد الا في ربع دينار فصاعدا {رواه مسلم}
“Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih.”
Hadis di atas men-taqyid atau membatasi kadar tangan dan kadar curian yang menyebabkan pelakunya terkena potong tangan yang tidak di jelaskan dalam al-Qur’an tentang hal ini, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah atat 38, yang berbunyi:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللهِ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah…”
c. Men-takhsis ayat yang ‘am
Kata ‘am ialah kata yang menunjukkan atau memiliki makna dalam jumlah banyak. Sedang kata takhsis atau khash ialah kata yang menunjukkan arti khusus, tertentu atau tunggal. Yang di maksud men-takhsish yang ‘am ialah membatasi keumuman ayat-ayat al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Contoh hadis yang men-takhsish ayat-ayat al-Qur’an ialah sabda Rasul SAW yang berbunyi:
لايرث القاتل من المقتول شيأ
“Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan”. (HR. Ahmad).
Hadis tersebut men-takhsish keumuman firman Allah surat an-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi:
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ
“Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu. Yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…”
3. Bayan al-Tasyri’
Bayan al-Tasyri’ ialah menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an, seperti contoh ketetapan Rasul tentang haramnya mengumpulkan (menjadikan istri sekaligus) antara seorang wanita dengan makciknya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis beliau:
لا تُنكح المرأة على عمتها ولا على خالتها ولا ابنةِ أختها ولا ابنة أخيها
“Tidak boleh dinikahi seorang perempuan bersama (menjadikan istri sekaligus) dengan makcik (saudara perempuan ayah)-nya, tidak juga dengan bibi (saudara perempuan ibu)-nya, dan tidak dengan anak perempuan saudara perempuannya atau anak perempuan saudara laki-lakinya.”
Ketentuan yang terdapat dalam hadis di atas tidak ada di dalam al-Qur’an. Ketentuan yang ada hanyalah larangan terhadap suami yang memadu istrinya dengan saudara perempuan sang istri. Dalam hal ini hadis datang menetapkan hukum tersendiri yaitu haram hukumnya bagi seorang suami untuk mempoligami istrinya bersama bibinya, sebagaimana firman Allah SWT:
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ
“Dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara
Terhadap fungsi hadis yang pertama dan kedua, para ulama telah sepakat. Namun terhadap fungsinya yang ketiga, yaitu fungsi tasyri’ (penetapan hukum yang tidak diatur sama sekali oleh al-qur’an), para ulama berbeda pendapat. Ada yang melihatnya sebagai hukum yang secara permulaan ditetapkan oleh hadis, dan ada yang melihatnya sebagai hukum yang asalnya tetap dari al-Qur’an.
4. Bayan an-Nasakh
Kata an-Nasakh secara bahasa ada bermacam-macam arti. Bisa bermakna ¬al-Ibtal (membatalkan), atau ¬al-Izalah (menghilangkan), atau at-Tahwil (memindahkan), atau at-Taghyir (mengubah).
Di antara para ulama, baik ulama mutaakhirin maupun mutaqaddimin terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan bayan an-Nasakh. Di antara para ulama yang membolehkan adanya naskah hadis terhadap al-Qur’an juga berbeda pendapat dalam macam hadis yang dapat dipakai untuk menasakhnya. Dalam hal ini mereka terbagi kepada tiga kelompok.
Pertama, yang memperbolehkan menasakh al-Qur’an dengan segala hadis, meskipun dengan hadis ahad. Pendapat ini di antaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibnu Hazm serta sebagian para pengikut Zahiriyah
Kedua, yang membolehkan menasakh dengan syarat bahwa hadis tersebut harus mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah.
Ketiga, ulama yang membolehkan menasakh dengan hadis masyhur, tanpa harus dengan hadis mutawatir. Pendapat ini dipegang diantaranya oleh ulama Hanafiyah
Dari pengertian di atas bisa di pahami bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Hadis sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada al-Qur’an, dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan al-Qur’an. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan an-Nasakh.
Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh para ulama ialah sabda Rasul SAW dari Abu Umamah al-Bahili, yang berbunyi:
إن الله قد أعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث {رواه أحمد رالأربعة الاالنسائ}
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing), maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Ahmad dan al-Arba’ah, kecuali an-Nasa’i)
Hadis di atas dinilai hasan oleh Ahmad dan A-Tirmidzi. Hadis ini menurut mereka manasakh isi al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 180, yang berbunyi:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf…”
Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan surat al-Baqarah ayat 180 di atas, di naskah hukumnya oleh hadis yang menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.
Dari berbagai macam fungsi hadis di atas banyak yang pro atau setuju terhadap fungsi hadis tersebut. Akan tetapi, tidak sedikit juga kelompok-kelompok yang kontra dengan hadis atau sunnah. Maka dari sini lahirlah kelompok-kelompok yang ingkar terhadap al-Sunnah.
Baca bagian I klik di sini!