Jika kita membicarakan tentang Ibn Jarir al-Thabari berarti kita berbicara tentang “syaikh”-nya para ahli tafsir. Hal ini tidak diragukan lagi. Ibn Jarir al-Thabari mulanya adalah seorang sastrawan dalam bahasa Arab. Beliau memiliki ungkapan kata-kata sangat indah yang jarang digunakan oleh sastrawan lainnya.
Ketika membaca tulisan beliau tidak dirasakan bahwa hal itu dibuat-buat, tetapi kita akan merasakan indahnya balaghah dan fasahah bagaikan kelap-kelip air yang mengalir atau bagaikan suara percikan air yang gemercik. Kedua maçam perkara tersebut hanya ada pada mereka yang memiliki ungkapan yang sangat menawan.
Ibn Jarir at-Thabari adalah seorang yang sangat ahli dalam fiqih. Beliau adalah pendiri sebuah mazhab, tetapi sangat disayangkan tidak ada yang mengumpulkan pendapat beliau untuk menjadikan sebuah mazhab.
Biografi Ibn Jarir Al-Thabari
Ibnu Jarir al-Thabari adalah seorang ahli tafsir terkenal dan sejarawan terkemuka. Nama lengkap al-Thabari adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kasir bin Ghalib al-Thabari (selanjutnya disebut dengan al-Thabari). Ia di lahirkan di Amul ibu kota Tabaristan, kota ini merupakan salah satu propinsi di Persia dan terletak di sebelah utara gunung Alburz, selatan laut Qazwin pada tahun 224/225 H atau sekitar tahun 839-840. dan meninggal 310 H.
Al-Thabari hidup pada masa Islam berada dalam kemajuan dan kesuksesan dalam bidang pemikiran. Iklim seperti ini secara ilmiah mendorongnya mencintai ilmu semenjak kecil. al-Thabari juga hidup dan berkembang di lingkungan keluarga yang memberikan perhatian besar terhadap masalah pendidikan terutama bidang keagamaan. Mengkaji dan menghafal al-Qur’an merupakan tradisi yang selalu ditanamkan dengan subur pada anak keturunan mereka termasuk al-Thabari.
Dedikasinya yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan sudah terlihat semenjak ia masih kanak-kanak. Salah satu prestasinya adalah ia telah menghafal al-Qur’an pada usia tujuh tahun. Hal itu tentu saja sesuatu hal yang sangat fenomenal, mengingat Imam Syafi’i menghafal al-Qur’an pada usia 9 tahun dan Ibnu Sina sekitar 10 tahun.
Al-Thabari adalah salah seorang tokoh terkemuka yang menguasai berbagai disiplin ilmu dan telah meninggalkan warisan keislaman cukup besar yang senantiasa mendapat sambutan dan apresiasi baik di setiap masa dan generasi. Ia mendapatkan popularitas luas melalui dua buah karyanya Tarikh al-Umam wa al-Muluk tentang sejarah dan Jami’ al-Bayan fi ta’wil al-Qur’an tentang tafsir.
Kedua buku tersebut termasuk di antara sekian banyak rujukan ilmiah penting. Bahkan buku tafsirnya merupakan rujukan utama bagi para mufassir yang menaruh perhatian terhadap Tafsir bi al-ma'tsur.
Di samping karya-karya lainnya yang berhasil ia tulis. Secara tepat belum ditemukan data mengenai jumlah buku yang berhasil diproduksi dan terpublikasikan yang pasti dari catatan sejarah membuktikan bahwa karya-karya al-Thabari meliputi banyak bidang keilmuan diantaranya; bidang hukum, tafsir, hadis, teologi, etika religius dan sejarah.
Guru-Guru Ibn Jarir Al-Thabari
- Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Asy-Syawarib
- Ismail Bin Musa As-Sanadi
- Ishaq bin Abi Israel
- Muhammad bin Abi Ma'syar
- Muhammad bin Hamid al-Razi
- Ahmad bin Mani'
- Abu Kuraib Muhammad Ibn al-A'la
- Ash-Shan'ani
- Muhammad bin Al-Mutsanna, dan lainnya.
- Abu Syuaib bin Abdillah bin al-Hasan bin al-Harani
- Abul Qasim Ath-Thabrani
- Ahmad bin Kamil Al-Qadhi
- Abu Bakar Asy-Syafi'i
- Abu Ahmad Ibnu Adi
- Mukhallad bin Ja'far Al-Baqrahi
- Abu Mammad Ibnu Zaid Al-Qadhi
- Ahmad bin Al-Qasim Al-Khasysyab
- Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan
- Abu Ja'far bin Ahmad bin Ali Al-Katib.
- Jami’al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an yang lebih dikenal dengan sebutan Al-tafsir Al-Thabari
- Tarikh Umam wa al-Muluk yang lebih dikenal dengan Tarikh Al-Thabari
- Al-Adab al-Hamidah wa al-Akhlaq al-Nafisah
- Tarikh al-Rijal
- Ikhtilaf al-Fuqaha
- Tahzib al-Atsar
- Kitab al-Basith fi al-Fiqh
- Al-Jami' fi al-Qiraat
- Kitab al-Tafsir fi al-Ushul
- Dan masih banyak lagi kitab-kitab beliau yang tidak disebutkan di sini.
Tafsir Al-Thabari
Tafsir al-Thabari ini terdiri dari 30 jilid, masing-masing berukuran tebal. Pada mulanya tafsir ini pernah hilang, namun kemudian Allah menakdirkan muncul kembali ketika didapatkan satu naskah manuskrip tersimpan dalam penguasaan seorang amir yang telah mengundurkan diri, Amir Hamud bin ‘Abdur Rasyid, salah seorang penguasa Nejd. Tidak lama kemudian Kitab tersebut diterbitkan dan beredar luas sampai ditangan kita, menjadi ensiklopedi kaya tentang tafsir bi al-Ma’tsur.
Tafsir al-Thabari adalah tafsir yang paling tua yang sampai kepada kita secara lengkap. Sementara tafsir-tafsir yang mungkin pernah ditulis orang sebelumnya tidak ada yang sampai ke kita kecuali hanya sedikit sekali, Itu pun terselip dalam celah-celah tafsir aL-Thabari tersebut.
Dalam Muqaddimah kitabnya telah dijelaskan bahwa ia memohon pertolongan Allah agar menunjukkan pendapat yang benar dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an mengenai ayat yang muhkam dan mutasyabih, perkara halal dan haram, umum dan khusus, global dan terperinci, nasikh dan mansukh, jelas dan samar, dan yang hanya mnerima penakwilan atau penafsiran.
Al-Thabari sangat bersungguh-sungguh dalam menjelaskan semua perkara itu, hal ini terlihat dalam setiap bagian kitabnya, dimana ia meneliti dengan sangat sabar setiap hadis dan atsar yang menyangkut penafsiran setiap ayat al-Qur’an, tanpa pernah lalai mengungkapkan asbab nuzul-nya, hukum-hukum, qira’at, dan beberapa kalimat yang maknanya perlu dijelaskan lebih detail.
Semua itu dilakukannya dalam rangka mewujudkan sebuah kitab tafsir yang lebih sempurna dari yang pernah ada sebelumnya, hingga memenuhi kebutuhan seluruh manusia.
Sumber Penafsiran
Penafsiran bi al-Ma’tsur adalah salah satu model tafsir yang paling utama dan tertinggi kedudukannya bila dibandingkan dengan model tafsir yang lain, karena dengan menafsirkan al-Qur’an menggunakan kalam Allah sendiri, perkataan Rasulullah SAW dan periwayatan para sahabat. Allah lebih mengetahui akan maksud dan ucapan-Nya, perkataan Rasulullah adalah penjelasnya dan para sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat-ayat al-Qur’an.
Ibnu Jarir al-Thabari dalam hal ini, memulai menafsirkan ayat al-Qur’an dengan mencari tafsiran suatu ayat dari ayat al-Qur’an yang lain, karena ia yakin bahwa ayat-ayat al-Qur’an adalah satu mata rantai yang tak bisa dipisahkan.
Ibnu Jarir al-Thabari juga banyak menafsirkan al-Qur’an dengan hadis, ia sangat teliti dalam mengemukakan jalan-jalan periwayatan sampai kepada pemabawa berita pertama (al-rawi A’la). Penafsirannya selalu diperkuat dengan riwayat-riwayat dan jika pada penafsiran itu terdapat dua pendapat atau lebih maka ia memaparkan semuanya.
Ia tidak semata-mata menyebutkan riwayat saja tetapi kadang dijelaskan secara rinci dan pada gilirannya mentarjih riwayat-riwayat tersebut. Al-Thabari tidak begitu saja menafsirkan al-Qur’an tetapi didasari berbagai macam pengembaraan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga wajar saja jika hasil pikirannya dijadikan referensi oleh para penafsir sesudahnya.
Metode Penafsiran
Metode penafsiran yang digunakan al-Thabari adalah metode tahlili di mana beliau menafsirkan ayat al-Qur’an secara keseluruhan berdasarkan susunan mushaf, ia menjelaskan ayat demi ayat, dengan menjelaskan makna mufradat-nya serta beberapa kandungan lainnya.
Metode tahlili adalah metode tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tahlili diuraikan, bermula dari arti kosakata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.
Corak Penafsiran
Ibnu Jarir al-Thabari menguasai berbagai disiplin ilmu teramsuk didalamnya fiqh, maka tidak diherankan jika dalam menafsirkan ayat-ayat hukum beliau selalu mengungkap pendapat ulama yang punya keterkaitan dengan masaalah yang dimaksud, lalu mengemukakan pendapatnya.
Ibnu Jarir al-Thabari dalam menyelesaikan persoalan fiqh, maka beliau menjelaskan semua pendapat ulama tentang hal itu, kemudian dikemukakan pendapatnya mengenai masalah tersebut. Seperti ketika ia menafsirkan surat al-Nahl ayat 8
"Dan (dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya" (Q.S. Al-Nahl [16]: 8)
Ibnu Jarir al-Thabari ketika menafsirkan maksud ayat di atas, beliau terlebih dahulu menyebutkan pendapat semua ulama tentang hukum makan kuda, kemudian mengemukakan pendapatnya sendiri bahwa ayat tersebut tidak menunjukkan kepada pengharaman.
Pandangan Ulama
Banyak ulama yang memuji Al-Thabari. Mereka mengatakan: Dia adalah seorang ‘alim yang tsiqah (bisa dipercaya), salah satu imam besar Ahlus Sunnah, pendapatnya diambil, dan keluasan ilmunya dijadikan referensi, dan memiliki manhaj yang lurus. Dia meninggalkan sejumlah karya bermanfaat, yang paling terkenal adalah kitab tafsir besar, Jami’ al-Bayan ‘fi Ta’wil al-Quran, dan mayoritas ulama mengenalnya dengan sebutan Tafsir al-Thabari.
Ini merupakan tafsir lengkap pertama yang sampai kepada kita, dan setiap mufassir yang datang setelahnya telah mengambil manfaat darinya. Oleh karena itu, para ulama menyebutnya sebagai bapak tafsir.
Imam Al-Nawawi dalam Tahdzibnya mengemukakan: “Kitab Ibnu Jarir dalam bidang tafsir adalah sebuah kitab yang belum seorangpun ada yang pernah menyusun kitab yang menyamainya. Beliau juga pernah mengatakan: "Umat telah bersepakat tidak ada yang menyamai tafsir beliau ini."
Imam al-Suyuthi, seorang mufasir menyatakan seperti berikut: "Kitab Ibnu Jarir adalah kitab tafsir paling agung (yang sampai kepada kita). Di dalamnya beliau mengemukakan berbagai macam pendapat dan mempertimbangkan mana yang lebih kuat, serta membahas i’rob dan istinbath. Karena itulah ia melebihi tafsir-tafsir karya para pendahulu". Wallahu A'lam