Childfree Bukan Merupakan Sebuah Fenomena yang Kontroversial
Kita sering mendengar kata-kata childfree pasca ada beberapa orang terkenal yang viral di medsos karena postingannya yang menyatakan bahwa dirinya memutuskan untuk tidak mempunyai keturunan alias chilfree.
Hal itu ramai diperbincangkan di jagad medsos, ada yang setuju dan banyak juga yang mengolok-olok. Lebih parahnya lagi banyak netizen-netizen yang semula hanya berkomentar tetapi kemudian memposting konten-konten yang mengarah pada childfree.
Childfree sendiri bukanlah sebuah fenomena yang kontroversial, karena childfree merupakan keputusan pasangan suami istri yang sadar dan bertanggung jawab, toh itu juga hak masing-masing dari mereka
Kita sebagai masyarakat yang tidak memutuskan childfree tidak usah khawatir kepada mereka yang melakukan childfree, karena mereka memang benar-benar sadar dan memikirkan secara matang atas hal itu. Malah yang harus kita khawatirkan adalah orang-orang yang tidak sadar untuk memutuskan menikah yang alasannya hanya sekedar iri sama teman dan lain-lain. Karena menikah bukanlah permainan, tetapi merupakan suatu keputusan.
Namun, pada dasarnya pasangan suami istri pasca menikah kemudian mempunyai anak adalah sebuah tradisi dan merupakan fitrah tujuan dari sebuah pernikahan, maka akan menjadi aneh jika ada sebuah pasangan menikah namun tidak mau memiliki keturunan baik itu keturunan kandung, tiri, maupun adopsi.
Faktor ekonomi dan kecenderungan mental orang tua untuk memiliki anak atau membesarkannya sebenarnya tidak buruk, tidak dapat disangkal bahwa dua hal ini memang harus disediakan oleh setiap pasangan untuk menjalankan rumah tangga. Hanya saja menggunakan akal sehat sebagai alasan untuk memilih Childfree masih tidak dapat diterima. Sementara di luar, masih banyak pasangan yang berharap memiliki anak, namun belum dikaruniai anak.
Childfree dari Sudut Pandang Islam
Dari sudut pandang Islam, tentu tidak ada istilah tidak punya anak atau tidak mau punya anak apalagi dengan pasangan suami istri karena anak adalah permata hati dan kebahagiaan bagi mereka yang masih berada dalam fitrah. Allah berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ
Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran: 14)
Ada beberapa kasus yang setara dalam kajian fiqh, yaitu penolakan wujud anak sebelum mani berada di dalam rahim wanita, baik dengan (1) Tidak menikah sama sekali; (2) Menghentikan hubungan seksual setelah menikah; (3) Dengan tidak memasukkan atau menumpahkan air mani ke dalam rahim setelah memasukkan penis ke dalam vagina; atau (4) Melalui `azl atau menumpahkan sperma di luar vagina. Semuanya pada hakekatnya sama-sama menolak keberadaan anak sebelum borpotensi adanya anak tersebut.
Nah, jika tidak punya anak dimaksudkan untuk menolak keberadaan anak sebelum potensi itu ada, yaitu sebelum sperma berada di dalam rahim wanita, maka hukumnya adalah boleh.
Jadi bagaimana dengan hadis Nabi yang menganjurkan orang untuk menikah dan memiliki anak? Seperti dalam hadis berikut:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيُجَامِعُ أَهْلَهُ فَيُكْتَبُ لَهُ بِجِمَاعِهِ أَجْرُ وَلَدٍ ذَكَرٍ قَاتَلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقُتِلَ قال العراقي: لم أجد له أصلا، ولكن قال الزبيدي: بل له أصل من حديث أبي ذر أخرجه ابن حبان في صحيحه.
Artinya, “Sungguh seorang lelaki niscaya menyetubuhi istrinya kemudian sebab persetubuhan itulah pahala anak laki-laki yang berjihad fi sabilillah kemudian mati syahid. (Al-‘Iraqi berkata: 'Aku tidak menemukan asalnya', namun Murtadla az-Zabidi berkata: 'Ada asalnya, yaitu dari hadits riwayat Abu Dzar ra yang ditakhrij oleh Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya).
Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa hukum ‘azl atau menumpahkan sperma di luar vagina hukumnya boleh seperti hukum memilih tidak menikah sama sekali.
Pendapat tersebut mendapat dukungan dari Az-Zabidi. Beliau menegaskan bahwasanya “Sebenarnya seorang lelaki tidak wajib menikah kecuali saat terpenuhi syarat-syaratnya. Sebab itu, bila menikah maka ia tidak wajib melakukan apapun kecuali menginap di suatu tempat bersama istri dan menafkahinya. Bila ia menyetubuhinya, maka tidak wajib baginya untuk inzâl atau memasukan sperma ke rahim istri. Karena itu, meninggalkan semua hal tersebut hanyalah meninggalkan keutamaan, tidak sampai makruh apalagi haram.”
Oleh karena itu, mengacu pada pendapat Imam al-Ghazali maupun pendapat Az-Zabidi yang membolehkan penolakan terhadap keberadaan anak sebelum potensi itu ada yaitu sebelum sperma berada di dalam rahim seorang wanita diperbolehkan. Maka hukum asal Childfree adalah boleh.
- Webinar Haddatsana Fest 2021, yang bertema: "Reaktualisasi Nilai-Nilai Hadis dalam Menghadapi Perkembangan Zaman" "Hadits, Childfree dan Media"