Tafsir Al-Qur'an Dengan Pendapat Tabi'in

Pengertian, Sumber dan Karakteristik Tafsir Al-Qur’an Dengan Pendapat Tabi’in

Secara istilah, tafsir memang sangat identik dengan kata al-Qur’an. Historisitas penggunaan kata tafsir telah familiar dari zaman klasik hingga kini di era modern. Belum ada term lain yang digunakan untuk menunjuk pada penjelasan tentang al-Qur’an selain dari term tafsir. Oleh karena itu, kata tafsir kemudian selalu identik dengan penjelasan mengenai al-Qur’an.

Menurut al-Zarkasyi seperti yang dikutip oleh Fahd al-Rumi mengatakan, bahwa tafsir merupakan suatu ilmu untuk memahami al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan di dalamnya terdapat penjelasan makna, pemahaman hukum dan uraian tentang hikmah-hikmah.  Sedangkan tabi’in adalah orang Islam awal yang masa hidupnya ketika atau setelah masa hidup nabi Muhammad namun tidak mengalami bertemu dengan nabi Muhammad SAW. jadi bisa disimpulkan bahwa tafsir tabi’in adalah tafsir atau penjelasan mengenai al-Qur’an yang dijelaskan oleh tabi’in yang tabi’in tersebut memang mendalami al-Qur’an atau seorang mufasir di masanya.

Di kalangan sahabat banyak yang dikenal dalam bidang tafsir, di kalangan tabi’in yang nota benenya menjadi murid mereka pun banyak pakar di bidang tafsir. Dalam menafsirkan, para tabi’in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa para pendahulunya di samping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri.

Menurut al-Dzahabi, dalam memahami al-Qur’an, para mufasir dari kalangan tabi’in berpegang pada al-Qur’an itu, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah, penafsiran para sahabat, ada juga yang mengambil dari ahli kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka juga berijtihad atau menggunakan pertimbangan nalar sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah SWT pada mereka. 

Tafsir yang di nukil dari Rasulullah dan para sahabat tidak mencakup semua ayat al-Qur’an. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap di saat manusia bertambah jauh dari masa Nabi dan sahabat. Maka para tabi’in yang menekuni bidang tafsir merasa perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan ini. Karenanya mereka pun menambahkan ke dalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut. 

Ketika penaklukan Islam semakin luas. Tokoh-tokoh sahabat terdorong berpindah ke daerah-daerah yang ditaklukkan. Mereka membawa ilmu masing-masing, dari tangan mereka inilah tabi’in, murid mereka itu, belajar dan menimba ilmu sehingga selanjutnya timbullah berbagai madzhab dan perguruan tafsir. Di Makkah misalnya, berdiri perguruan Ibn Abbas. Di antara muridnya yang terkenal adalah Sa’id bin Juhair, Mujahid, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan Al-Yamani dan Atha’ bin Abi Rabah. Mereka ini semua dari golongan maula (sahaya yang dibebaskan). 

Di Madinah, Ubay bi Ka’ab lebih terkenal di bidang tafsir dari orang lain. Pendapatnya tentang tafsir banyak di nukil generasi sesudahnya. Di antara muridnya dari kalangan tabi’in adalah Zaid bin Aslam, Abu ‘Aliyah dan Miuhammad bin Ka’ab al-Qurazhi. Di Irak Ibnu mas’ud mendirikan perguruan yang dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal madzhab ahli ra’yi. Dan banyak pula tabi’in di Irak yang dikenal sebagai ahli tafsir. Yang masyhur di antaranya ‘Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yaziz, Murrah al-Hazani, ‘Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah al-Sadusi. 

Tabi’in adalah generasi kedua setelah para sahabat dan orang yang lebih mengetahui kandungan al-Qur’an pada masanya, karena mereka adalah orang yang langsung hidup dan bergaul dengan para sahabat. Pendapat mereka dipandang sangat membantu generasi selanjutnya dalam memahami ayat al-Qur’an. Tafsir yang sumbernya datang dari tabi’in, para ulama memiliki perbedaan pendapat, antara lain:

  1. Ada yang menggolongkan ke dalam tafsir bi al-Ma’tsur
  2. Ada pula yang menggolongkan dalam kelompok tafsir bi al-Ra’yi

Tafsir bi al-Ma’tsur ini memiliki kedudukan yang paling tinggi kecuali tafsir bi al-Ma’tsur yang datang dari para tabi’in karena sedikit banyak telah dipengaruhi oleh berbagai kecenderungan mereka dan seting bercampur dengan cerita-cerita israiliyat.  

Pengaruh utama yang melatarbelakangi dalam perkembangan tafsir pada masa tabi’in yaitu ketika wilayah kekuasaan Islam semakin meluas, ketika ekspansi Islam yang semakin meluas, maka hal itu mendorong tokoh-tokoh sahabat berpindah ke daerah-daerah dan masing-masing membawa ilmu, dari tangan inilah kemudian para tabi’in sebagai murid dari para sahabat menimba ilmu. Para mufasir di kalangan tabi’in berpegang teguh pada kitabullah dan sumber-sumber lain sebagai rujukan bagi tafsir mereka tentang kitabullah. Sumber-sumbernya yaitu:

  1. Ayat al-Qur’an yang menjadi penafsir bagi ayat lain yang masih universal
  2. Hadis nabi Muhammad
  3. Semua informasi yang didengar oleh tabi’in dari Nabi Muhammad dan para sahabat
  4. Menerima dari ahli kitab selama keterangan tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an 
  5. Hasil perenungan dan ijtihad dan pemikiran mereka atas al-Qur’an sebagaimana yang telah dilakukan oleh para sahabat. 

Penafsiran al-Qur’an dengan metode periwayatan atau pendapat tabi’in juga merujuk kepada bahan rujukan dalam penulisan al-Qur’an. Tabi’in melakukan penjelasan juga didasarkan oleh pendapat sahabat, dimana tabi’in dan sahabat pernah bertemu, dan sama mengetahui. Oleh sebab itu, penjelasan tabi’in tetap diperhitungkan sebagai salah satu corak penafsiran bi al-Ma’tsur dalam menafsirkan al-Qur’an.

Sehubungan dari hasil ijtihad para tabi’in, ulama memberikan penilaian mengenai hal tersebut:

  1. Apabila penafsiran tabi’in mencakup asbab al-Nuzul dan hal-hal yang ghaib, memiliki kekuatan hukum marfu’, seperti tafsir Mujahid
  2. Apabila penafsiran tabi’in merujuk pada Ahli kitab, hukumnya seperti penafsiran israiliyat (maksudnya hadis israiliyat)
  3. Apa yang disepakati oleh tabi’in dapat menjadi hujjah
  4. Jika terdapat perbedaan pendapat, pendapat yang satu tidak dapat mengalahkan pendapat lainnya
  5. Jika tafsir tabi’in tidak ada yang menentang, tafsir ini lebih rendah daripada tafsir sahabat. Akan tetapi, nilainya lebih berharga apabila dibandingkan dengan tafsir generasi setelah mereka. 

Karakteristik Dan Contoh Tafsir Bi Qoul Tabi’in

Pada masa ini corak tafsir bi al-Riwayah masih mendominasi, karena para tabi’in meriwayatkan tafsir dari sahabat sebagaimana juga para sahabat mendapatkan riwayat dari Nabi Muhammad SAW meskipun sudah muncul ra’yu (ijtihad) dalam menafsirkan al-Qur’an, tetapi unsur periwayatan lebih dominan. Adapun karakteristik tafsir pada masa tabi’in secara ringkas dapat disimpulkan seperti berikut:
  1. Pada masa ini tafsir belum di kodifikasi secara tersendiri
  2. Tradisi tafsir juga masih bersifat hafalan melalui periwayatan
  3. Tafsir sudah mulai dimasuki oleh cerita israiliyat, karena keinginan sebagian tabi’in untuk mencari penjelasan secara detail mengenai unsur cerita dan berita dalam al-Qur’an
  4. Sudah mulai banyak perbedaan pendapat antara penafsiran para tabi’in dengan para sahabat
  5. Tafsir mereka senantiasa dipengaruhi oleh kajian-kajian dan riwayat menurut corak yang khusus identitas dengan tempat belajar masing-masing
  6. Di masa tabi’in mulai timbul kontroversi-kontroversi dan perselisihan pendapat seputar tafsir ayat-ayat yang berkaitan dengan perkara akidah. 
Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mufasir (secara umum) yang dapat penulis tulis secara ringkas sebagai berikut:

  1. Akidah yang benar, sebab akidah memiliki pengaruh yang besar terhadap jiwa pemiliknya.
  2. Bersih dari hawa nafsu. Hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingan madzhabnya, sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan keterangan yang menarik.
  3. Menafsirkan, lebih dahulu al-Quran dengan al-Qur’an, karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah diperinci di tempat lain.
  4. Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah al-Qur’an dan penjelasnya.
  5. Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaknya melihat bagaimana pendapat para sahabat. Karena mereka yang lebih mengetahui tentang tafsir al-Qur’an dan merekalah yang terlibat dalam kondisi ketika al-Qur’an diturunkan, di samping mereka mempunyai pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang salih.
  6. Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam al-Qur’an, sunnah dan pandangan sahabat maka sebagian besar ulama’ dalam hal ini merujuk kepada pendapat tabi’in.
  7. Pengetahuan bahasa Arab yang baik, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.
  8. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an.
  9. Pemahaman yang cermat. 
Sebagaimana para sahabat, mufasir pada generasi tabi’in tidak semuanya memiliki integritas dan kemampuan yang sama dalam menafsirkan al-Qur’an, sehingga dari buah penafsirannya menghasilkan pemahaman yang berbeda-beda. Kendati demikian, produk hasil penafsiran para tabi’in ini banyak dijadikan sumber rujukan oleh para mufasir berikutnya seperti tafsir Ibn Jarir al-Tabari, Ibn Katsir, al-Suyuthi dan beberapa mufasir lain hingga berlanjut pada mufasir masa modern bahkan juga abad kontemporer.

Contoh tafsir dengan pendapat tabi’in sebagai berikut:
Al-Zalzalah ayat 2-5

وَاَخْرَجَتِ الْاَرْضُ اَثْقَالَهَاۙ وَقَالَ الْاِنْسَانُ مَا لَهَاۚ يَوْمَىِٕذٍ تُحَدِّثُ اَخْبَارَهَاۙ بِاَنَّ رَبَّكَ اَوْحٰى لَهَاۗ

“Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya dan manusia bertanya “mengapa bumi menjadi begini?”, pada hari itu bumi menceritakan berita, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.”

Dalam menafsirkan Q.S al-Zalzalah yang terdiri dari delapan ayat, Mujahid  hanya menafsirkan ayat kedua, ketiga dan kelima. Hal ini membuktikan bahwa tafsir Mujahid tidak menafsirkan secara keseluruhan ayat dan hanya bersifat parsial pada beberapa ayat. Pada ayat kedua Mujahid menafsirkan dengan arti bumi mengeluarkan mayat yang ada di dalamnya, sementara ayat keempat ia tafsirkan dengan arti menceritakan berita-berita manusia berikut dengan perbuatan yang dilakukannya, baik perbuatan yang terpuji maupun tercela. sedangkan ayat kelima Mujahid mengartikannya sebagai perintah untuk bumi yang tercantum dalam Q.S al-Insyiqaq. 

Contoh selanjutnya adalah tafsir surat al-Takwir ayat 15-16

فَلَاۤ اُقۡسِمُ بِالۡخُنَّسِ الۡجَوَارِ الۡكُنَّس

Pada ayat tersebut Mujahid menafsirkan ayat ke-15-16 dengan mengutip pendapat sahabat al-Hasan yang menafsirkannya dengan arti al-Kawakib (bintang-bintang). Di samping itu, Mujahid juga menafsirkan ayat tersebut dengan mengutip pendapat sahabat sekaligus gurunya, Ali bin Abi Thalib yang mengartikannya sebagai bintang-bintang yang bersinar di malam hari dan bintang-bintang yang bersinar di siang hari (matahari).

Abd Hamid Majid

Seorang Mahasiswa Universitas di Jawa Timur, Indonesia

Post a Comment

Previous Post Next Post