
Hadis adalah sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an. Begitu pentingnya hadis maka studi dan kajian terhadap hadis akan terus dilakukan, bukan hanya oleh umat Islam, tetapi oleh siapa pun yang berkepentingan terhadapnya. Berbeda dengan ayat al-Qur’an yang semuanya langsung dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai acuan atau hujjah. Hadis ada yang dapat dipakai dan ada yang tidak. Maka meneliti hadis sangatlah perlu. Tetapi dalam meneliti hadis diperlukan pengetahuan tentang kaidah-kaidah atau metodenya.
Atas dasar itulah, para ulama hadis berusaha merumuskan kaidah atau metode dalam studi hadis. Terutama untuk meneliti para perawi yang menjadi mata rantai dalam periwayatan hadis tersebut.
Kaidah Keterimanya Hadis
Apa itu hadis maqbul?
Para ulama hadis membagi hadis yang ditinjau dari diterima atau tidaknya menjadi 2 yaitu; Hadis Maqbul dan Hadis Mardud. Hadis maqbul adalah hadis yang dapat diterima, bisa diamalkan dan bisa dijadikan hujjah atau landasan. Sedangkan hadis mardud adalah kebalikan dari hadis maqbul yakni hadis yang ditolak, tidak bisa dijadikan hujjah atau landasan tetapi bisa diamalkan asalkan hadis tersebut isinya mengajak kita kepada kebaikan dan tidak bertentangan dengan syariat.
Para ulama hadis menamai hadis maqbul dengan nama shahih dan hasan jika hadis tersebut sudah memenuhi semua kriteria keterimanya hadis, Sedangkan hadis mardud para ulama menamainya dengan hadis Dlaif. Yang membedakan antara shahih dan hasan adalah pada kedlabitan perawinya, yakni shahih lebih unggul dari hasan.
Kaidah Mayor Dan Minor Hadis Maqbul (Diterima)
Ilmu hadis adalah hal yang sangat urgen di kalangan para peneliti hadis. Dari ilmu tersebut didapatkan sejumlah teori yang berkaitan dengan keabsahan sebuah atau sejumlah hadis yang dikhabarkan berasal dari nabi. Keabsahan khabar tentang sebuah hadis tidak dengan serta merta diterima tanpa memenuhi kaidah sebagai kriteria kesahihan sanad yang telah ditetapkan oleh ulama hadis.
Jika ditelusuri antara Bukhari dan Muslim tentang kriteria kesahihan sanad, maka terlihat bahwa keduanya berdasar pada kriteria dan kredibilitas periwayat yang ditetapkan oleh hasil penelitian para ulama, sehingga kriteria yang dipegang oleh keduanya adalah:
1. Sanadnya harus bersambung
2. Sanadnya harus tsiqoh
3. Terhindar dari cacat dan ilat.
4. Sanad yang berdekatan harus sezaman dan bertemu.
Mengenai sanad yang berdekatan, bagi muslim cukup sezaman, sedangkan Bukhari mengharuskan bertemu langsung, sehingga dapat dikatakan bahwa kriteria yang ditetapkan oleh Bukhari lebih ketat dibanding kriteria yang ditetapkan oleh Muslim.
Sementara itu, ulama muthakhirin telah memberikan penjelasan tegas tentang apa yang dimaksud hadis sahih, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu al-Shalah yaitu:
1. Sanadnya bersambung sampai kepada nabi
2. Seluruh periwayatannya adil dan dhabit
3. Terhindar dari syaz dan llat.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh para Muhadditsin lainnya, seperti al-Nawawi, mahmud Tahhan, Subhi al-Saleh. Jadi bisa disimpulkan bahwa kriteria keterimanya hadis sebagai berikut:
1. Sanadnya bersambung
2. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dlabit
3. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
4. Terhindar dari syudzuz
5. Terhindar dari lllat.
Kelima syarat di atas oleh M. Syuhudi Ismail diperas menjadi tiga kaidah mayor yaitu nomor 1 sampai 3, sedangkan yang keempat dan kelima dimasukkan dalam kaidah minor, sanad bersambung dan periwayat yang dlabit. Alasannya, bahwa penyebab terjadinya syudzuz dan ilat adalah tidak bersambungnya sanad dan tidak sempurnanya kedhabitan, sehingga kalau meneliti sanad bersambung dan sempurna kedhabitan para ulama periwayat, maka syudzuz dan ilat ikut di dalamnya.
Yang menjadi dasar dalam pembahasan kaidah minor kesahihan sanad hadis adalah kaidah mayor itu sendiri, sesuai pendapat M. Syuhudi Ismail, yaitu:
1. Sanadnya bersambung
Maksudnya adalah, bahwa dalam peristiwa suatu hadis dimana sanad pertama bersambung terus sampai akhir sanad, yakni setiap sanad terdekat dari sanad lain harus bertemu, minimal sezaman. Untuk mengetahui bersambung tidaknya suatu sanad hadis maka jalan yang harus ditempuh adalah:
a. Mencatat semua peristiwa dalam sanad yang diteliti.
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat.
c. Meneliti kata-kata yang dipakai sebagai penghubung.
Hadis yang bersambung sanadnya disebut muttasil dan yang sanadnya sampai kepada sahabat disebut mauquf dan yang sampai kepada Nabi adalah Marfu’. Oleh karena itu kaidah minornya adalah mutasil (bersambung), marfu’ (bersandar kepada Nabi SAW), dan mahfudz (terhindar dari syudzuz dan illat.)
Contoh sanad yang bersambung yaitu:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بِنْ يُوْسُفَ, أَخْبَرَنَا مَالِك, عَنْ أَبِي الزَّناَدِ, عَنِ الْأَعْرَاجِ, عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (طَعَامٌ الْاِثْنَيْنِ كَافِي الثَّلاَثَة) رواه البخاري في كتاب الأطعمة
Maksud dari hadis di atas adalah sesungguhnya al-Bukhari telah mendengar hadis ini dari Abdullah dan Abdullah telah mendengar dari Malik, dan Malik mendengar dari Abi al-Zanad dan dia mendengar dari al-A’raj dan al-A’raj mendengar dari Abu Hurairah dan beliau mendengar hadis ini dari Rasulullah SAW.
2. Perawi bersifat adil
Adil menurut bahasa adalah tidak berat sebelah, tidak sewenang-wenang. Namun dalam hal ini terdapat perbedaan di antara para muhadditsin tentang apa yang dimaksud adil. Adil yang dimaksud di sini adalah orang muslim yang bertakwa, yang selamat dari sifat fasiq dan sifat-sifat keji yang kecil. Dalam hal ini, berarti seorang perawi hadis tidak boleh berasal dari orang kafir, fasiq, gila, bodoh. Sedangkan orang perempuan, budak, dan mumayiz boleh untuk meriwayatkannya.
Dalam kitab manhaj dzawinnadzar yang dimaksud dengan adilnya seorang perawi adalah orang yang menjauhi perkara-perkara buruk seperti syirik, fasiq dan bid’ah. Dan orang tersebut mampu untuk menjauhi perkara-perkara buruk yang kecil seperti merasa tinggi (sombong). Dan dalam keterangan tersebut bisa disimpulkan bahwa kaidah minor adilnya seorang perawi hadis adalah:
a. Beragama Islam
b. Mukallaf meliputi baligh dan berakal
c. Melaksanakan ketentuan agama seperti:
- Teguh dalam agama
- Tidak berbuat dosa besar
- Menjauhi dosa kecil
- Tidak berbuat bid’ah
- Tidak berbuat maksiat
- Tidak berbuat fasiq
- Berakhlak yang baik
- Memelihara muruah dengan hal-hal yang dapat merusak muruah.
Mengenai ketakwaan seorang perawi, menjadi kriteria umum yang meliputi kaidah kesahihan atau keterimanya sanad hadis. Adapun kriteria seorang perawi adalah dapat dipercaya beritanya dan biasanya benar merupakan akibat dari sosok pribadi yang telah memenuhi persyaratan di atas.
3. Perawinya bersifat dlabith
Secara etimologi, dlabith berarti kokoh, kuat, dan tepat, mempunyai hafalan yang kuat dan sempurna. Sedangkan menurut muhadditsin, dlabith adalah sikap penuh kesadaran dan tidak lalai.
Menurut sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, syarat yang ketiga ini tidak hanya dlabith saja tetapi juga sempurnanya sifat dlabith (tamam al-Dlabith) yaitu kesempurnaan kedlabithan yang tinggi. Dlabith di bagi menjadi dua yaitu:
- Dlabith shadr (hafalan). Maksudnya, kuat hafalannya bila hadis yang diriwayatkan berdasarkan hafalan.
- Dlabith al-Kitab (tulisan). Maksudnya, benar tulisannya manakala hadis yang diriwayatkan berdasarkan tulisan dan jika meriwayatkan secara makna, maka ia pintar memilih kata-kata yang tepat untuk digunakan.
Unsur kaidah minor dalam syarat ketiga ini adalah:
- Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya.
- Periwayat hafal dengan baik riwayat yang diterimanya.
- Mampu menyampaikan riwayat yang diterima dengan baik kepada orang lain kapan saja diperlukan.
Jika ada satu perawi kemudian dalam dirinya berkumpul dua sifat yakni adil dan Dlabith maka perawi tersebut dinamakan perawi yang tsiqqah, karena dalam diri perawi tersebut sudah terdapat sifat jujur juga kuat hafalannya.
4. Terhindar dari Syadz
Syadz secara etimologi berarti jarang, sendiri, asing. Sedangkan secara terminologi syadz berarti suatu matan yang menyalahi aturan dan bertentangan dengan matan-matan hadis yang lain yang lebih kuat dan mempunyai objek pembahasan yang sama.
Jadi, kaidah minor dalam syarat ke-4 ini adalah
a. Tidak maqlub (pemutar balikan posisi) lafadh atau kalimat dalam matan. Bisa dikatakan bahwasanya hadis maqlub adalah hadis yang mengalami pemutar balikan dari diri periwayat atas sebagian matan atau nama periwayat dalam sanad atau sanad untuk matan lainnya. maqlub bisa terjadi pada sanad maupun matan.
b. Tidak mudltarrib (keragu-raguan/kebingungan) karena kesetaraan kualitas matan yang berbeda. Jadi kebingungan dapat diartikan suatu keadaan dimana seseorang tidak bisa menentukan pilihan. Karena seorang perawi meriwayatkan banyak hadis dengan redaksi yang berbeda-beda dengan kualitas yang sama sehingga tidak ada yang dapat diunggulkan.
Contoh hadis Mudltarrib:
عن أنس رضي الله عنه: أن النبي صلى الله عليه وسلم وأبا بكر وعمر رضي الله عنهما كَانُوْا يَفْتَتِحُوْنَ الصَّلَاةَ بِالْحَمْدُلِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Menurut al-Iraqi dan al-Suyuthi, hadis tersebut mudtarrib. Karena matannya mengandung idltirrab.
c. Tidak mudraj (adanya sisipan), Menurut bahasa Mudraj adalah memasukkan sesuatu dalam lipatan sesuatu yang lalu. Sedangkan dalam ilmu hadis mudraj adalah segala sesuatu yang tersebut dalam kandungan suatu hadis dan bersambung dengannya tanpa adanya pemisah, pada hal itu bukan bagian dari hadis itu. Mudraj ada dua yakni pada matan dan pada sanad, yang kita bahasa di sini adalah mudraj pada matan, menurut ulama hadis mudraj pada matan adalah ucapan sebagian perawi dari kalangan sahabat, atau dari generasi sesudahnya yang terdapat dalam matan hadis dan bersambung dengannya.
Contoh Hadis Mudraj:
عن عائشة ام المؤمنين انها قالت اول ما بدئى به رسول الله صلى الله عليه وسلم - مِنَ الْوَحْىِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِى النَّوْمِ ، فَكَانَ لاَ يَرَى رُؤْيَا إِلاَّ جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ ، ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلاَءُ ، وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ - وَهُوَ التَّعَبُّدُ - اللَّيَالِىَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ...
Artinya:
Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin, dia berkata: wahyu yang pertama kali disampaikan kepada Rasulullah SAW melalui mimpi kecuali beliau menyaksikan suasana terang seperti pagi hari, kemudian ditanamkan rasa cinta dalam dirinya untuk berkhalwat di sana untuk bertahannus yakni beribadah di dalamnya selama beberapa malam sebelum kembali kepada keluarganya…
Menurut Nur al-Din hadis tersebut termasuk hadis mudraj karena pada matan hadis tersebut terdapat idraj yakni kata وَهُوَ التَّعَبُّدُ (dia beribadah). Menurut Ibnu Hajar dan al-Nawawi, kata tersebut adalah ucapan al-Zuhr (Ibnu Syihab al-Zuhr) yang disertakan dalam hadis yang merupakan penjelasan dari kata تَحَنَّثُ.
5. Terhindar dari illat
Illat berarti cacat, penyakit atau keburukan. karena itu juga suatu matan hadis yang mengandung cacat, mengurangi nilai dan kualitas hadis.
Menurut M. Syuhudi Ismail, kedua unsur (terhindar dari syadz dan illat) itu menjadi kaidah minor dari kaidah kesahihan atau keterimanya hadis. Hanya saja kaidah minornya tidak terinci sebagaimana yang terdapat pada kaidah kesahihan sanad. Hal tersebut bukan berarti tidak ada patokan tertentu. Yang jelas, dalam meneliti suatu matan hadis merupakan penjabaran dari kedua unsur tersebut. Adapun yang sapat dijelaskan patokan dalam penelitian matan hadis adalah yang dikemukakan oleh al-Khatib al-Baghdadi, sebagaimana yang dikutip oleh M. Syuhudi Ismail sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang muhkam.
2. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
3. Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir.
4. Tidak bertentangan dengan amalan yang menjadi kesepakatan ulama salaf.
5. Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti.
6. Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitasnya lebih kuat.
Dari enam patokan di atas, M. Syuhudi Ismail menambahkan satu patokan yaitu mempunyai susunan bahasan yang baik dan sesuai dengan fakta sejarah, yakni matan hadis harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tidak bertentang dengan fakta sejarah yang ada.
Semetara itu, Shalahuddin al-Abidi mengemukakan empat macam kaidah kesahihan matan hadis, yaitu sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an
2. Tidak bertentangan dengan hadis uang kualitasnya lebih kuat
3. Tidak bertentangan dengan akal sehat
4. Susunan pernyataan menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Kaidah kesahihan yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama di atas dinyatakan sebagai kaidah dalam meneliti kepalsuan hadis. Menurut jumhur ulama, tanda-tanda matan hadis yang palsu adalah:
- Susunan bahasanya rancu
- Isinya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diiterpretasikan secara rasional
- Isinya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran islam
- Isinya bertentangan dengan hukum alam
- Isinya bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an atau hadis mutawatir yang telah mengandung petunjuk secara pasti
- Isinya bertentangan dengan sejarah
- Isinya berbeda di luar kewajiban bila diukur dari petunjuk umum ajaran Islam.
Contoh hadis yang diterima dan juga menempati tingkatan shahih yaitu:
مَا أَخْرَجَهُ البُخَارِي فِي صَحِيْحِهِ, قَالَ: "حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنِ يُوْسُف, قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِك, عَنْ ابْنِ شِهَاب, عَنْ مُحَمَّد بْن جَبِيْر بنْ مُطْعِمِ, عَنْ أَبِيْهِ, قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ"
Hadis tersebut dikatakan shahih dan diterima karena:
1. Sadadnya tersambung, karena setiap perawi itu mendengar riwayat langsung dari gurunya, adapun yang ada عن yaitu Malik, Ibnu Syihab, dan Ibnu Jabir masih dianggap sambung karena perawi-perawi tersebut bukan dari golongan perawi yang mudallas.
2. Perawinya adil dan dlabith, hal itu telah di sifati oleh para ulama jarh wa ta’dil.
- Abdullab bin Yusuf adalah orang yang tsiqqah
- Malik bin Anas adalah imam hafidz
- Ibnu Syihab al-Zuhri adalah seorang faqih
- Muhammad bin Jabir adalah orang yang tsiqqah
- Jabir bin Mut’im adalah sahabat
3. Hadis tersebut tidak terhindar dari syadz, karena hadis tersebut tidak bertentangan dengan 4. matan lain yang lebih kuat.
Dan hadis tersebut terhindar dari illat.
Sumber Rujukan:
- Al-Maliki, Muhammad bin Alwi, Qawaid al-Asasiyyah fi ilmi musthalah Hadith, Makkah: al-Shafwah, t.th.
- Al-Maliki, Muhammad bin Alwi, al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadith, Makkah: Al-Shafwah, t.th.
- Al-Tarmasi, Muhammad Mahfudz, Manhaj Dzawinnadzar Beirut: Dar al-Fikr, 2008.
- ‘Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadith, Damaskus: Dar al-Fikr, 1981.
- Al-Na’imi, Abu Hafs Mahmud bin Ahmad bin Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Hadith, t.tp: Maktabah al-‘Arif li al-Nasr wa al-Tauzi’, 2004.
- Idris, H. Mahsyar, Kaidah Kesahihan Matan Hadis, Parepare: Umpar Press, 2014.
- Yahya, Muhammad, Ulumul Hadis, Sulawesi Selatan: Syahadah, 2016.