
Luasnya cakupan ibadah dapat kita lihat dari definisi ibadah yang disampaikan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala:
العِبَادَةُ هِيَ اِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِئَةِ والظَّاهِرَةِ
“Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup semua yang Allah cintai dan Allah ridhai, baik ucapan atau perbuatan yang lahir (tampak) maupun yang batin (tidak tampak).”
Apa Itu Ibadah?
Ibadah secara etimologi berasal dari bahasa arab yaitu ‘abada-ya’budu-‘ibadatan yang artinya mengabdi, tunduk atau patuh. Sedangkan secara terminologi ialah sebutan apa yang dicintai dan diridhai Allah SWT, baik berupa ucapan atau perbuatan yang dzahir maupun batin.
Ibadah sendiri secara umum dapat dipahami sebagai wujud penghambaan diri seorang makhluk kepada Allah SWT serta tunduk kepada-Nya dengan cara melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya. Perintah dan larangan tersebut tertera pada wahyu Allah yaitu al-Qur’an dan juga ada pada sunnah Nabi Muhammad SAW yang maksum (terjaga dari sifat-sifat tercela).
Ulama’ fikih membagi jenis-jenis ibadah menjadi tiga bagian, yaitu ibadah badaniyah mahdhah, maliyah mahdhah dan ibadah mutaraddidah (tidak tegas) antara keduanya. di katakan dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu bahwa ibadah di bagi menjadi tiga yaitu ibadah maliyah mahdhah, badaniyah mahdhah, dan ibadah murokkabah (ibadah yang mencakup badaniyah dan maliyah)
Dalam kitab I’anah al-Thalibin pembagian ibadah tertera sebagai berikut:
والحاصل أن العبادة على ثلاثة أقسام إما أن تكون بدنية محضة فيمتنع التوكيل فيها إلا ركعتي الطواف تبعا وإما أن تكون مالية محضة فيجوز التوكيل فيها مطلقا وإما أن تكون مالية غير محضة كنسك فيجوز التوكيل فيها بالشرط المار
“Simpulannya, ibadah terbagi menjadi tiga macam, ada kalanya berupa ibadah badaniyah mahdhah, maka jenis ibadah demikian tidak bisa diwakilkan pada orang lain shalat sunnah dua rakaat thawaf dengan cara mewakilkan pula pelaksanaan tawaf. Ada kalanya ibadah maliyah mahdhah, ibadah jenis ini boleh untuk diwakilkan pada orang lain secara mutlak. Ada kalanya ibadah maliyah ghoiru mahdhah, seperti ibadah haji, maka ibadah jenis ini boleh untuk diwakilkan pada orang lain dengan syarat-syarat yang telah dijelaskan.”
Ibadah Mahdhah, Maliyah Dan Ijtimaiyah
Sebelum membahas tentang ibadah mahdhah, maliyah dan ijtima’iyah, alangkah baiknya mengetahui definisi ibadah mahdhah Dan ghoiru mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang murni ibadah atau ibadah yang apa saja yang telah ditetapkan Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya (ada dalil-dalil syariat) atau teknis pelaksanaannya telah diatur secara rinci oleh al-Qur’an dan hadis (ibadah khusus). Dan sebaliknya, ibadah ghoiru mahdhah adalah ibadah yang teknik pelaksanaannya tidak diatur secara rinci oleh al-Qur’an dan hadis atau segala amalan yang diizinkan oleh Allah, seperti tolong menolong. Semuanya diserahkan kepada manusia sendiri, Islam hanya memberi perintah dan prinsip-prinsip umum saja (ibadah umum).
Ibadah mahdhah ini memiliki empat prinsip, yaitu:
- Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Qur’an maupun al-Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu dan tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika.
- Tata caranya harus berpola kepada contoh Rasul SAW, salah satu tujuan diutusnya Rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh.
- Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal). Artinya, ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawah qur’an, dan ibadah mahdhah lainnya keabsahannya buka ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syariat atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syariat dan rukun yang ketat.
- Asasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutusnya Rasul adalah untuk dipatuhi.
Ibadah mahdhah juga mempunyai ciri-ciri diantaranya sebagai berikut:
- Ibadah mahdhah adalah amal dan ucapan yang merupakan jenis ibadah sejak asal penetapannya dalil syariat. Artinya, perkataan atau ucapan tersebut tidaklah bernilai kecuali ibadah. Dengan kata lain tidak bisa bernilai netral (bisa juga ibadah atau bukan ibadah).
- Ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan maksud pokok orang yang mengerjakannya, yaitu dalam rangka meraih pahala di akhirat.
- Ibadah mahdhah hanya bisa diketahui melalui jalan wahyu, tidak ada jalan yang lainnya, termasuk melalui akal atau budaya. Contoh sederhana adalah shalat. Shalat adalah ibadah mahdhah karena memang ada perintah (dalil) khusus dari syariat sehingga sejak awal mulanya shalat adalah aktivitas yang diperintahkan (ciri pertama). Orang yang mengerjakan shalat pastilah berharap pahala akhirat (ciri kedua) dan ciri ketiga, ibadah shalat tidaklah mungkin kita ketahui selain melalui jalur wahyu. Rincian berapa kali shalat, kapan saja, berapa rakaat, gerakan, bacaan, dan seterusnya hanya bisa kita ketahui melalui penjelasan Nabi SAW, bukan hasil dari kreativitas dan olah pikiran kita sendiri.
Macam-macam ibadah mahdhah sebagai berikut:
1. Ibadah badaniyah mahdhah
Ibadah badaniyah mahdhah adalah ibadah yang murni berupa gerakan fisik, jenis ibadah yang termasuk badaniyah mahdhah adalah wudhu, tayammum, shalat, puasa dan mandi besar. Maka jenis ibadah yang demikian tidak boleh untuk diwakilkan kecuali terdapat dalil (bukti) yang menjelaskannya seperti mengqadla’ puasa untuk mayit, karena ada dalil yang menjelaskannya.
فَقَدْ قَال ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُول اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ، وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا؟ فَقَال: أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِهِ أَكَانَ ذَلِكَ يُؤَدَّى عَنْهَا؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَال: فَصُومِي عَنْ أُمِّكِ
Artinya: Ibnu Abbas ra., berkata: “pernah seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW kemudian berkata ”Wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku meninggal dunia sementara ia mempunyai tanggungan puasa nadzar, apakah aku memuasakan untuknya?” beliau bersabda: “Apa pendapatmu kalau saja ibumu mempunyai hutang? Lalu engkau melunasi hutangnya, bukankah hal tersebut berarti engkau telah menunaikan pembayaran hutang untuknya?” wanita tersebut menjawab “ya” beliau lalu berkata “Oleh karena itu, berpuasalah untuk ibumu.” (HR. Muslim)
2. Ibadah maliyah mahdhah
Ibadah maliyah mahdhah adalah ibadah yang murni hanya menyangkut urusan harta seperti sedekah, zakat, membayar kafarat, membayar nadzar, dan kurban. Ibadah maliyah mahdhah ini sah atau boleh untuk diwakilkan secara sukarela maupun secara pasti. Karena seseorang lah yang berhak menerima manfaat tersebut dan manfaat tersebut bisa diperoleh atau di rasakan oleh siapapun.
3. Ibadah murakkabah
Ibadah murakkabah adalah ibadah yang mencakup ibadah badaniyah mahdhah (fisik) dan maliyah mahdhah (harta). Seperti ibadah haji, menurut jumhur ulama selain malikiyah ibadah ini boleh diwakilkan jika dalam kondisi tidak mampu untuk melakukan atau dlarurat, karena ketidakmampuan tersebut itu terjadi dari diri seseorang dan juga terjadi oleh perbuatan orang lain jika harta untuk ibadah tersebut masih pada orang lain. Maka ibadah ini berbeda dengan shalat secara esensi karena haji sendiri pada umumnya membutuhkan harta (uang) untuk kendaraan menuju tanah suci Makkah.
Selain ibadah mahdhah dan ghoiru mahdhah secara teknis dalam agama Islam terdapat beberapa kategori tentang ibadah. Pertama, para ulama membedakan antara ibadah mahdhah dan ibadah ijtima’iyah. Ibadah mahdhah adalah ibadah khusus bersifat ritual yang pada dasarnya menyangkut hubungan manusia dan Allah SWT, dan syarat, rukunnya sudah ditetapkan oleh syariat. Sedangkan ibadah ijtima’iyah adalah ibadah sosial yang berkaitan dengan kemaslahatan masyarakat. Di antara ibadah ijtima’iyah ini ada yang bersifat wajib, seperti zakat fitrah, ada pula yang bersifat sunnah (dianjurkan) seperti infak, sedekah, wakaf dan sebagainya. Sebagai contoh ibadah ijtima’iyah adalah zakat karena zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan kemasyarakatan
Islam selain mendorong umatnya untuk mencari penghasilan setinggi-tingginya (pertumbuhan ekonomi), Islam juga mendorong dan memberikan sistem distribusi kekayaan yang adil sebagaimana zakat, infak, dan sedekah. Dalam hal ini Islam mengobati kemiskinan langsung ke akar permasalahannya, yaitu mengobati keserakahan manusia. Maka dari itu dengan adanya ibadah ijtima’iyah ini akan bisa memberi kemaslahatan kepada masyarakat
Contoh ibadah ijtima’iyah zakat ini adalah landasan sistem perekonomian Islam dan menjadi tulang punggungnya. Sistem ekonomi Islam berdasarkan pengakuan bahwa Allah adalah pemilik alam semesta ini, maka hanya Dia yang berhak mengatur masalah pemilikan, hak-hak dan penyaluran serta pendistribusian harta. Jadi bisa di katakan zakat ini termasuk ibadah maliyah madhdhah juga ijtima’iyah. Termasuk ibadah maliyah mahdhah karena zakat termasuk ibadah yang berupa pengeluaran harta dan ibadah tersebut murni ibadah, maksudnya ibadah tersebut sudah ada dalil di dalam al-Qur’an, diantaranya:
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ * وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya: "Dan janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu menyembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya. (42) Dan tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk." (43).
Termasuk ibadah ijtima’iyah karena zakat adalah ibadah yang sosial yang berkaitan dengan kemaslahatan masyarakat juga berkaitan dengan ekonomi keuangan kemasyarakatan.
Sumber Rujukan:
- Fanani, Sholihin, Modul Kuliah AIK 2 (Ibadah, Akhlak dan Muamalah), Surabaya: PPAIK, 2020.
- Syahriansyah, Ibadah dan Akhlak, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014.
- Jama’ah Min al-Ulama’, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Mesir, Mathabi’ Dar al-Shafwah, 1404 H.
- Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1985.
- Syatha, Abu Bakar, I’anah al-Thalibin, Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M.
- Nopiardo, Widi, “zakat sebagai ibadah maliyah ijtima’iyah dalam perspektif ilmu ekonomi islam” dalam Jurnal juris vol 14, Nomor 2, Juli-Desember 2015.
Tags:
KEISLAMAN