“Paradigma baru beribadah dalam masa pendemi di Indonesia”
Adanya penyebaran virus ini ialah bukan totalitas membawa efek negatif, karena banyak juga efek yang positif yang bisa kita ambil. Maqosidus syari’ah ialah suatu ilmu yang membahas rahasia atau hikmah dibalik sebuah hukum yang di tetapkan oleh Allah, dan juga bisa dibuat tolak ukur di dalam istinbat hukum islam, maqosidus syari’ah bertujuan untuk menghapus dikotomis fiqih atau madzhab fiqih dan sebuah solusi untuk menyelamatkan seseorang. Maqosidus syari’ah lebih sering digunakan dari pada pendekatan-pendekatan hukum. Hukum-hukum baru ini bukan dilihat dari maqosidus syari’ah saja, akan tetapi harus perlu melibatkan pendekatan dalam bidang lain yakni ilmu sosial, kesehatan dll.
Dampak positif yang bisa kita ambil dalam masa pendemi ini yaitu bisa mengakses informasi atau berita dengan cepat dsb. Sedangkan dampak negatifnya juga begitu banyak diantaranya yaitu banyak tersebar berita hoax. Motifasi seseorang menyebarkan berita hoax diantaranya;
1. Karena sesuai dengan kesenangan hawa nafsunya sendiri.
2. Karena setuju dengan konten yang dia bagikan.
3. Ada kesengajaan ingin membuat kekacauan di masyarakat.
4. Motifasi ekonomi.
5. Supaya terlihat eksis di kalangan masyarakat.
Berita hoax tersebut akan menjadi fatal ketika disampaikan oleh tokoh masyarakat.
Pandemi covid 19 berdampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, diantaranya tata laksana ibadah penerapan protokol kesehatan mengharuskan adanya penyesuaian baru termasuk dalam teknis pelaksanaan ibadah, physical dintancing dalam pelaksananaan sholat berjamaah meniscayakan shaf sholat berjarak.
Protocol preventif terhadap penyebaran virus covid 19 lainnya adalah meniadakan atau mengurangi kerumunan massa dalam jumlah besar. Akibatnya, kegiatan ibadah yang bersifat wajib massal pun terdampak. Sholat jum’at, beberapa minggu lalu dewan masjid Indonesia [DMI] mengusulkan agar sholat jumat dilakukan secara bergelombang atau bergantian. Usulan sholat jumat begelombang bukan berarti tidak ada alasan akan tetapi banyak alasan yang di perhitungkan.
"Pandangan fuqoha’ tentang tata laksana sholat jum’at"
Secara umum penetapan hukum dan teknis pelaksanaan ibadah memiliki standar maksimum dan minimum. Teknis baru yang bisa disesuaikan dengan protocol covid sebenarnya sudah ditawarkan oleh para ulama’, jika yang dikehendaki adalah mengurai jumlah masa, maka pelaksanaan sholat jumat tidak perlu dilakukan secara bergelombang. Teknis urai massa yang sesuai dengan tawaran para fuqoha’ sebenarnya adalah pecah lokasi. Tidak seperti selama ini yang wajib dilakukan secara tersentralisir dalam satu masjid jami’. Meskipun dikalangan urban, pelaksanaan sholat jum’at secara tersentralisir sudah jarang dijumpai. Banyak instansi, lembaga, hotel bahkan mall yang memilih mendirikan sholat jum’at di tempat masing-masing.
Secara syarat, sholat jum’at hanya sah dilakukan secara berjamaah tidak sah dilakukan sendirian. Demikian telah disepakati oleh seluruh ulama’ muslimin. Namun yang berbeda adalah jumlah dalam jamaah tersebut, seperti yang diikuti oleh wahbah zuhaily, imam abu hanifah mengatakan bahwa, jumlah paling sedikit jama’ah sholat jum’at adalah 3 orang makmum. Sehingga kurang dari jumlah tersebut akan menjadi tidak sah. Pendapat imam Abu hanifah ini nampaknya didasarkan pada analisis bahasa, sebab menurutnya 3 adalah jumlah paling sedikit dan secara bahasa, jum’ah berasal dari kata jama’ah
Mengenai jumlah minimal jama’ah ini memang bukan hal baru, dalam literature klasik pun sudah dibahas, seperti dalam hasyiyah al-Bujairomy. Jumlah jama’ah sholat jum;at relatif beragam, menurut as-Syafi’I 40, menurut Abu hanifah 3, menurut al lay-its 2, seperti halnya sholat jama’ah pada umumnya.
"Sholat jum’at dalam beberapa kelompok"
Selama ini, terutama di kalangan pengikut madzhab Syafi’iyah, pelaksanaan sholat jum’at seolah wajib dilakukan secara tersentralisir. Dalam diskursus fiqih ibadah, baik dalam tataran wacana literasibahkan pada tataran prasis di masyarakat, pendirian masjid pun diatur sedemikian rupa, misalnya harus berjarak sekian meter. Sehingga, jika harus terjadi ada dua masjid dalam satu lokasi, maka pelaksanaan sholat jum’atnya harus dilakukan di salah satunya. Lalu bagaimana pandangan ulama’ terkait hal tersebut?
Jadi, pelaksanaan sholat jum’at secara berkelompok di satu lokasi kampong misalnya dalam rangka mengurai dan mengurangi jumlah kerumunan massa lebih memungkinkan untuk diterapkan dan relatif tidak menimbulkan konflik di masyarakat. Sedangkan secara hukum, para ulama’ bersepakat atas kebolehan dan sahnya tata laksana sholat jum’at berkelompok tersebut jika memang dibutuhkan.
Sumber: Webinar Taaruf MDTJ 2020, Narasumber: Tajul Muluk, S.Ud., M.Th.I.