1. Kerajaan Perlak
Kerajaan Perlak ini terletak di bukit Meuligou, Aceh yang berada di utara pulau Sumatra. Proses islamisasi di Perlak berlaku sekitar tahun 804 masehi yaitu sekitar abad ke-9. Islam di Perlak datang bersama-sama dengan serombongan besar ulama Syiah. Nama semula adalah Peureulak. Kitab Negarakertagama menyebut negeri itu dengan nama “parlak” marcopolo yang berkunjung ke negeri tersebut pada tahun 1292 dan mencatatnya sebagai negeri Ferlec.
Perlak adalah kerajaan tertua di Indonesia. Masa pemerintahan kerajaan Perlak cukup panjang. Kerajaan ini berdiri pada tahun 840 M dan berakhir pada tahun 1292 karena bergabung dengan kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Perlak ini ada 19 orang raja yang memerintah, raja yang pertama ialah Sultan Alaidin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah (225-249 H/840-964 M), beliau dinobatkan sebagai sultan kerajaan Perlak pada tanggal 1 Muharram 225 H.
Kerajaan ini mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II (1225-1263 M), pusat kemajuan kerajaan Perlak terdapat pada bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiyah. Perlak merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata uang sendiri. mata uang perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham) dari perak (kupang) dan dari tembaga atau kuningan.
2. Kerajaan Barus
Kesultanan Barus adalah kelanjutan dari kerajaan di Barus paska masuknya islam ke Barus. Islam masuk ke Barus pada awal-awal munculnya agama Islam di semenanjung Arab. Dalam sebuah penggalian arkeologi, ditemukan sebuah Makam Mahligai yakni sebuah perkuburan bersejarah Syekh Rukunuddin dan Syekh Usuluddin yang menandakan masuknya agama Islam pertama ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi di kecamatan Barus. Kuburan ini diperkirakan panjangnya adalah 7 meter dan dihiasi oleh batu nisan yang khas dan unik serta bertulisan bahasa Arab. Sejarah 48 H dan Makam Mahligai merupakan objek wisata religius bagi umat Islam se dunia yang letaknya 75 Km dari Sibolga dan 359 Km dari kota Medan.
Raja pertama yang menjadi muslim adalah raja kadir yang kemudian diteruskan kepada anak-anaknya yang kemudian bergelar sultan. Raja kadir merupakan penerus kerajaan yang telah turun-temurun memerintah Barus dan merupakan keturunan raja Alang pasdosi, pertama sekali mendirikan pusat kerajaannya di Toddang (tundang), Tukka, Pakkat juga dikenal sebagai negeri Rambe, yang bermigrasi dari Balige dari marga pohan. Pada abad ke-6 telah berdiri sebuah otoritas baru di Barus yang didirikan oleh sultan Ibrahimsyah yang datang dari Tarusan, Minang, keturunan Batak dari kumpulan marga Pasaribu, yang akhirnya membentuk Dualisme kepemimpinan di Barus.
3. Kerajaan Samudera Pasai
Samudera pasai diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 dan 1275, atau pertengahan abad ke-13. Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, dengan sultan pertamanya bernama Sultan Malik as-Saleh (wafat tahun 696 H atau 1297 M).
Dalam sejarah Islam di Nusantara, Samudera pasai diakui sebagai kerajaan Islam pertama. Tanggal tahun di batu nisan Malik al-Saleh, 1927, diterima di kalangan ahli sejarah sebagai waktu berdirinya Samudera pasai menjadi sebuah kerajaan Islam. Selanjutnya diperkuat dengan sumber lokal yang tersedia. Teks Hikayat Raja-Raja Pasai, satu teks melayu tentang kerajaan tersebut mencatat bahwa Malik al-Saleh adalah raja muslim pertama kerajaan Samudera Pasai. Lebih jauh teks tersebut menuturkan bahwa Merah silu (nama pra Islam Malik -al-Saleh) membangun sebuah istana di satu wilayah di Sumatra, Pasai. Dia tidak lama setelah berkuasa segara masuk Islam dan bergelar Sultan Malik al-Saleh (1267-1297 M).
Dalam teks tersebut juga digambarkan bahwa masuknya Merah Silu ke Islam terjadi setelah dia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW yang mengajarinya membaca dua kalimat syahadat. Sejak itu, Merah Silu beralih nama menjadi Malik al-Saleh dan Samudera Pasai selanjutnya disebut Samudera dar al-Islam, satu sebutan untuk menekankan bahwa kerajaan tersebut dalam domain Islam.
Pendapat yang menyatakan bahwa islam sudah berkembang di Sumatra sejak abad ke-13 didukung oleh berita China dan pendapat Ibnu Batuthah yang pada abad pertengahan abad ke 14 M (tahun 746 H/1345 M) mengunjungi Samudera Pasai. Dalam kisahnya, Ibnu Batuthah menggambarkan sultan Malikul Zahir (1297-1326 M) sebagai raja yang sangat saleh, rendah hati, pemurah dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, sultan Malikul Zahir tidak pernah bersikap sombong. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan saat menyambut rombongan Ibnu Bathuthah.
Pada saat itu Samudera Pasai adalah pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan. Selain itu, sultan Malikul Zahir juga mengutus para ulama untuk berdakwah ke berbagai wilayah Nusantara. Masyarakat Samudera Pasai hidup diwarnai oleh agama Islam, pemerintahannya berdasarkan Islam. Selama abad ke-13 sampai pada awal abad ke-16 Samudera Pasai terkenal sebagai salah satu kota dengan bandar pelabuhan yang sibuk juga menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai komoditas ekspor utama, Samudera Pasai juga mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran.
Berikut ini merupakan urutan para raja-raja yang memerintah di kesultanan Samudera Pasai:
a. Sultan Malik al-Saleh (696 H/1297 M)
b. Sultan Muhammad Malik al-Zahir (1297-1326 M)
c. Sultan Mahmud Malik Zahir (1346-1383 M)
d. Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405 M)
e. Sulthanah Nahrisyah (1405-1412 M)
f. Abu Zain Malik Zahir (1412 M)
g. Mahmud Malik Zahir (1513-1524 M)
4. Kerajaan Aceh
Kurang diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, sebagaimana yang dikutip dalam buku Badri Yatim, bahwa kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497) dialah yang membangun kota Aceh Darussalam.
Awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naik tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuasaan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Pada saat itu sekitar tahun 1511 kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatra seperti Peurlak (perlak) di Aceh Timur, Pedir di Pidie, Daya di Aceh Barat Daya dan Aru di Sumatra Utara sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal dengan sosok yang paling anti dengan Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Maka sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Corak pemerintahan Aceh adalah pemerintahan sipil dan pemerintahan atas dasar agama. Pada masa kejayaannya, perekonomian Aceh sangat berkembang pesat. Hal ini dikarenakan daerahnya yang subur dan penghasil lada. Kekuasaan Aceh atas daerah-daerah pantai Timur dan Barat Sumatra menambah jumlah ekspor ladanya. Karena letaknya di jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan selat Malaka, kerajaan Aceh menitikberatkan perekonomiannya pada bidang perdagangan. Di bawah pemerintahan sultan Alauddin Riayat Syah berkembang menjadi bandar utama di Asia bagi para pedagang mancanegara.
Peletak dasar kebesaran Kerajaan Aceh adalah sultan Alauddin Riayat Syah karena pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Aceh Darusalam semakin meluas sampai di Bengkulu di pantai barat, seluruh pantai timur Sumatra dan tanah Batak di pedalaman. Kegiatan perdagangan berkembang pesat, terutama dengan Gujarat, Arab, dan Turki.
Puncak pemerintahan kerajaan Aceh Darussalam terletak pada masa pemerintahan sultan Iskandar Muda (1608-1637). Pada masa ini merupakan masa paling gemilang bagi Aceh, di mana kekuasaannya meluas dan terjadi penyebaran Islam hampir di seluruh Sumatra. Di masa pemerintahan sultan Iskandar Muda, Aceh Darussalam menjadi salah satu pusat pengembangan Islam di Indonesia. Di Aceh dibangun masjid Biturrahman, rumah-rumah ibadah, dan lembaga-lembaga pengkajian Islam. Di sana tinggal ulama-ulama tasawuf yang terkenal, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin, Syaikh Nuruddin al-Raniri, dan Abdul Rauf al-Sinkili.
5. Kerajaan Malaka
Kerajaan Malaka merupakan pusat perdagangan dan penyebaran Islam di Asia Tenggara. Perkiraan letak kerajaan Malaka adalah berada di pulau Sumatra dan semenanjung Malaya. Sultan Iskandar Syah berhasil meletakkan dasar-dasar dari kerajaan Malaka. Ia mengembangkan Malaka menjadi kerajaan penting di selat Malaka. Ia memerintah Malaka dari tahun 1396-1414.
Kerajaan Malaka didirikan oleh Parameswara antara tahun 1380-1403 M. Parameswara berasal dari Sriwijaya, dan merupakan putra raja Sam Agi, saat itu ia masih menganut agama hindu. Bukti peninggalan kerajaan Malaka antara lain masjid agung deli, masjid johor baru dan sebagainya.
6. Kerajaan Minangkabau
Kerajaan Minangkabau bisa disebut juga kerajaan Pagaruyung yang merupakan salah satu kerajaan melayu yang pernah berdiri di provinsi Sumatra Barat. Kerajaan ini pernah dipimpin oleh Adityawarman sejak tahun 1347. Sekitar tahun 1600 an, kerajaan ini menjadi kesultanan Islam.
Munculnya kerajaan ini belum diketahui secara pasti. Namun, dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman menunjukkan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut. Di Padaruyung, pengaruh Islam berkembang sekitar abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal dengan Syekh Abdurrauf Sinkil yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17 kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam, raja yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Pengaruh agama Islam membawa perubahan secara fundamental terhadap adat Minangkabau. Tetapi sejak kapan pengaruh Islam memasuki tubuh adat Minangkabau secara pasti, masih sukar dibuktikan.
7. Kerajaan Palembang
Kerajaan Palembang atau kesultanan Palembang terjadi dalam abad ke-17 M dan ke-18 M sampai dengan awal abad ke-19 M. tempatnya adalah di kota Palembang dan sekitarnya, baik disebelah sungai Musi maupun di hulu dan anak-anaknya yang dikenal dengan Batanghari Sembilan. Letaknya tidak jauh dari kuala (-90 KM) yang bermuara di selat Bangka. Pada awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang bernuansa Islam dengan pendirinya ki Gede Ing Suro, bangsawan pelarian dari kesultanan Demak akibat kemelut politik setelah mangkatnya sultan Trenggana.
Palembang dalam bagian kedua abad ke-18 telah menuju hari depan yang baik, yaitu pada masa sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin II. Ia menjalankan pemerintahan secara bijaksana, perdagangan berkembang pesat dan timah telah memperkaya kerajaan.
8. Kerajaan Jambi
Pada abad ke-11, Jambi pernah menjadi pusat kerajaan maritim terbesar di Nusantara, yaitu maritim Sriwijaya-Hindu sebelum Islam masuk. Namun ketika pusat kerajaan dipindahkan, nama Jambi menjadi daerah yang kurang menguntungkan, tidak Cuma itu wilayah ini pun menderita ketidaksinambungan sejarah.
Dalam pemerintahan kerajaan Jambi terdapat keunikan tersendiri, karena adanya raja yang tua, yakni sultan dan raja yang muda yakni pangeran ratu sebagai ahli waris tahta kesultanan yang selalu diambil dari anak sultan yang terdahulu, masing-masing mereka memiliki daerah perlindungan dan pendukung di pedalaman dan mempunyai tanda kebesaram sendiri.
Masa kejayaan kerajaan Jambi pada saat Jambi diperintah oleh sultan Thoha Syaifuddin. Selain membangun kekuatan perekonomiannya, sultan Thoha juga membuat rencana pengembangan pendidikan secara merata bagi rakyat. Sultan Thoha juga sangat memperhatikan masalah keadilan untuk menegakkan keadilan di setiap desa diangkat seorang hakim dan sang Qadhi (pemuka agama). Dengan demikian rasa aman rakyat menjadi terjamin.
Masa kemunduran Jambi ditandai dengan penyerbuan Belanda ke Jambi pada bulan September 1858 yang kemudian menurunkan sultan Thoha dari tahtanya. Setelah kekuasaan sultan Thoha berakhir, maka kerajaan dipegang oleh dua sultan, eksistensi kerajaan dengan dua sultan ini merupakan hal yang tidak diterima oleh anak-anaknya. Maka untuk mengakhiri keadaan yang tidak wajar ini, berbagai tindakan politik pun dilakukan. Tetapi dalam proses ini akhirnya Jambi pun jatuh dan kian jauh masuk ke bawah kekuasaan Belanda.
Masuknya Islam ke wilayah nusantara, khususnya ke Sumatra telah memberikan sebuah warna baru dalam peradaban wilayah tersebut. Islam tidak hanya dianggap sebagai sebuah agama saja, akan tetapi lebih jauh dari pada itu telah mampu memasuki aspek-aspek kehidupan manusia salah satunya dalam bidang budaya. Hal ini menyebabkan akulturasi antara peradaban dengan Islam, dan salah satu hasilnya adalah berupa kerajaan-kerajaan. Pada tahap selanjutnya, kerajaan-kerajaan inilah yang berperan penting dalam penyebaran dan pembentukan budaya Islam. Demikian penjelasan mengenai beberapa kerajaan Islam yang terletak di pulau Sumatra.