Kaidah Yang Diperselisihkan (Dalam Kitab Al-Asybah Wa Al-Nazhair)

Kaidah Yang Diperselisihkan



Kaidah fiqih merupakan kaidah-kaidah yang bersifat umum yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih yang spesifik menjadi beberapa kelompok dan merupakan pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu masalah yang timbul dengan cara menggolongkan masalah yang serupa ke dalam satu kaidah. Kaidah fiqih ada yang disepakati dan ada yang tidak disepakati atau mukhtalaf.

Kaidah al-Mukhtalaf atau kaidah yang tidak disepakati merupakan kaidah yang berbentuk pertanyaan pada satu tema tertentu dengan dua jawaban atau lebih. Suatu permasalahan yang seharusnya memiliki jawaban yang pasti, akan tetapi permasalahan dalam kaidah mukhtalaf terdapat jawaban yang beragam. Disebut sebagai mukhtalaf karena kaidah ini merupakan kaidah yang substansinya dikhilafkan dalam madzab Syafi’i.

Kaidah-kaidah mukhtalaf merupakan kaidah-kaidah yang masih diperselisihkan dan tarjihnya juga tidak sama. Terkadang juga terdapat cabang yang maish diperselisihkan akan tetapi hanya sebagian atau karena masing-maisng mempunyai dalil yang tidak dapat dikesampingkna. Munculnya jawaban yang berbeda meskipun berasal dari pertanyaan yang sama tersebut disebabkan oleh tinjauan masing-masing ulama' berbeda antara satu sama lain. Menurut Imam Jalaludin al-Suyuthi dalam kitabnya yang berjudul al-Asybah wa al-Nazhair menyebutkan bahwa ada 20 kaidah yang masih terdapat perbedaan pendapat atau diperselisihkan para ulama, diantaranya:


1. Qaidah ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ ﻇﻬﺮ ﻣﻘﺼﻮﺭﺓ ﺍﻭ ﺻﻼﺓ ﻋﻠﻰ ﺣﺎﻟﻬﺎ

Artinya: “Shalat jumat adalah shalat dhuhur yang dipendekkan atau shalat sebagaimana adanya”.

Pendapat:

a. Ulama yang berpendapat bahwa shalat jumat itu adalah shalat dhuhur yang dipendekkan. Implikasinya adalah bahwa shalat jumat boleh dijama; dengan shalat ashar.

b. Ulama yang berpendapat bahwa shalat jumat itu adalah sebagaimana adanya, bukan shalat dzuhur yang dipendekkan. Implikasinya, shalat jum’at tidak boleh di jama’ dengan shalat ashar.


2. Qaidah 

ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺧﻠﻒ ﺍﻟﻤﺤﺪﺙ ﺍﻟﻤﺠﻬﻮﻝ ﺍﻟﺤﺎﻝ ﺍﺫﺍ ﻗﻠﻨﺎ ﺑﺎﻟﺼﺤﺔ ﻫﻞ ﻫﻲ ﺻﻼﺓ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﺍﻭﺍﻧﻔﺮﺍﺩ

Artinya: “Shalat di belakang orang yang berhadats namun tidak diketahui keadaannya, apabila menurut kita sah, apakah shalat itu adalah shalat jamaah atau shalat sendirian?

Pendapat:

a. Jika seseorang menjadi imam dalam shalat dan jumlah jamaah sudah cukup walaupun dikurangi imam, sedang imam dalam keadaan berhadats, maka shalat jamaahnya dianggap sah, karena itu mereka semua mendapat pahala jamaah.

b. Jika imam lupa bahwa ia berhadas atau makmumnya lupa memisahkan diri dari jamaah sebelum salam, jika makmum menginginkan salat jamaah maka ia harus sujud sahwi karena lupanya imam, bukan karena kelupaan dirinya.


3. Qaidah 

ﻣﻦ ﺍﺗﻰ ﺑﻤﺎ ﻳﻨﺎ ﻓﻰ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﻨﻔﻞ ﻓﻰ ﺍﻭﻝ ﻓﺮﺽ ﺍﻭﺍﺛﻨﺎﺀﻩ ﺑﻄﻞ ﻓﺮﺿﻪ ﻭﻫﻞ ﺗﺒﻘﻰ ﺻﻼﺗﻪ ﻧﻔﻼ ﺍﻭﺗﺒﻄﻞ

Artinya: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan dengan membatalkan perbuatan fardu, bukan perbuatan sunnat, diawal atau ditengah-tengah perbuatan fardu, maka perbuatan fardunya menjadi batal, tetapi apakah perbuatan itu menjadi perbuatan sunnat ataukah batal secara keseluruhan.”

Pendapat:

a. Bila seorang melakukan salat fardu sendirian, kemudian ada salat jamaah dan karena ingin mengikuti salat jamaah, maka ia salam setelah dua rakaat, maka salatnya tetap sah, dan salatnya berstatus salat sunnah.

b. Bila seorang telah melakukan takbiratul ihram untuk salat fardu sebelum masuknya waktu atau karena ia membatalkan salat fardunya untuk ditukarkan kepada fardu yang lain, atau untuk berpindah kepada salat sunnah tanpa sebab, maka salatnya dianggap tidak sah.


4. Qaidah ﺍﻟﻨﺬﺭ ﻫﻞ ﻳﺴﻠﻚ ﺑﻪ ﻣﺴﻠﻚ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﺍﻭﺍﻟﺠﺎﺋﺰ

Artinya: “Realisasi nazar, apakah apakah dilakukan seperti mengerjakan pekerjaan wajib, ataukah pekerjaan jaiz.”

Pendapat:

a. Dilaksanakan seperti pelaksanaan ibadah wajib, misalnya; nazar salat, puasa maupun kurban, maka salat, puasa, ataupun kurban itu harus dilakukan sebagaimana pekerjaan wajib. Kalau salat harus berdiri, tidak boleh duduk bila kuasa, puasanya harus berniat di malam hari, tidak boleh siang hari seperti puasa sunnah, sedang kurbanya harus hewan yang cukup umur serta tidak cacat.

b. Dilaksanakan seperti pelaksanaan ibadah jaiz, seperti memerdekakan budak, sehingga boleh memerdekakan budak kafir atau budak cacat.


5. Qaidah ﻫﻞ ﺍﻟﻌﺒﺮﺓ ﺑﺼﻴﻎ ﺍﻟﻌﻘﻮﺩ ﺍﻭ ﺑﻤﻌﺎﻧﻴﻬﺎ

Artinya: “Apakah ungkapan itu yang dianggap bentuk akadnya tau maknanya.”

Contoh:

Misalnya ada orang yang mengadakan transaksi dengan berkata “saya beli bajumu dengan syarat-syarat demikian dengan harga sekian” kemudian penjual menjawab “iya jadi”, jika melihat akadnya bentuknya jual beli, namun jika melihat maknanya merupakan akad salam (pesanan). Demikian juga jika orang berkata “saya jual bajuku padamu” tanpa menyebutkan harganya. Bila dilihat dari maknanya berarti hibah, tetapi sudut lafalnya berarti jual beli. Bila hibah maka diperbolehkan tetapi jika dipandang jual beli, maka merupakan jual beli yang fasid (rusak).


6. Qaidah ﺍﻟﻌﻴﻦ ﺍﻟﻤﺴﺘﻌﺎﺭﺓ ﻟﻠﺮﻫﻦ ﻫﻞ ﺍﻟﻤﻐﻠﺐ ﻓﻴﻬﺎ ﺟﺎﻧﺐ ﺍﻟﻀﻤﺎﻥ ﺍﻭ ﺟﺎﻧﺐ ﺍﻟﻌﺎﺭﻳﺔ

Artinya: “Barang yang dipinjam untuk gadai, apakah layak sebagai jaminan ataukah sebagai pinjaman.”

Penjelasan:

Barang pinjaman untuk jaminan gadai dipegang oleh pemberi gadai, apakah yang mempunyai barang tersebut boleh meminta kembali? Kalau barang tersebut dianggap sebagai pinjaman, maka dapat kembalian atau diambil, sedang jika sebagai jaminan maka tidak dapat diminta kembali kecuali sudah dilunasi utangnya. Demikian juga, jika barang itu rusak, maka pihak gadai harus mengganti, jika sebagai pinjaman, tetapi tidak wajib mengganti, jika sebagai jaminan.


7. Qaidah ﺍﻟﺤﻮﺍﻟﺔ ﻫﻞ ﻫﻲ ﺑﻴﻊ ﺍﻭ ﺍﺳﺘﻴﻔﺎﺀ

Artinya: “Apakah hiwalah (pemindahan utang) itu merupakan jual beli ataukah kewajiban yang dipenuhi”

Penjelasan:

Jika hiwalah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, maka tidak ada khiyar baginya (pilihan untuk ditangguhkan), namun bila dianggap jual beli maka ia berlaku persyaratan-persyaratan sebagaimana jual beli, yakni bila ada cacatnya dapat dikembalikan, atau bila tidak senang dapat dikembalikan kembali (khiyar majlis), namun apabila sebagai istifa’ maka tidak ada persyaratan tersebut.


8. Qaidah ﺍﻹﺑﺮﺍﺀ ﻫﻞ ﻫﻮ ﺇﺳﻘﺎﻁ ﺍﻭ ﺗﻤﻠﻴﻚ

Artinya: “Pembebasan utang, apakah sebagai pengguguran utang, ataukah merupakan pemberian untuk dimiliki.”

Penjelasan:

Pembebasan utang yang tidak diketahui jumlah utangnya oleh orang yang membebaskan, maka yang lebih sah adalah pemberian untuk dimiliki dan tidak sah pengguguranya, sedangkan kalau pemberi membebaskan dengan mengetahui jumlah uangnya, maka yang lebih sah dengan isqoth (pengguguran). Demikian juga pembebasan utang dari salah satu orang, maka yang lebih sah adalah pemberian untuk dimiliki (tamlik) dan jika ibro’nya dikaitkan dengan sesuatu (tempat, keadaan) maka yang sah adalah tamlik, kalau disyaratkan adanya qobul maka yang sah dengan isqoth (pengguguran), sedang tamlik tidak disyaratkan adanya qobul.


9. Qaidah ﺍﻹﻗﺎﻟﺔ ﻫﻞ ﻫﻲ ﻓﺴﺦ ﺍﻭ ﺑﻴﻊ

Artinya: “iqolah (pencabutan jual-beli terhadap orang yang menyesal) adakah itu merupakan pembatalan jual-beli ataukah merupakan jual-beli (keduakalinya)”.

Contoh:

Misalnya seseorang membeli budak kafir dari penjual kafir, kemudian budak tersebut menjadi muslim dan penjual menghendaki iqalah. Kalau iqalah itu dipandang sebagai jual-beli maka dianggap sah seperti mengembalikan barang pembelian karena adanya cacat. Sedangkan kalau iqalah dianggap sebagai fasah (pembatalan) maka tidak perlu adanya ijab qabul, sedangkan jika dianggap jual beli maka memerlukan ijab qabul baru.


10. Qaidah ﺍﻟﺼﺪﺍﻕ ﺍﻟﻤﻌﻴﻦ ﻓﻲ ﻳﺪ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻘﺒﺾ ﻣﻀﻤﻮﻥ ﺿﻤﺎﻥ ﻋﻘﺪ ﺍﻭ ﺿﻤﺎﻥ ﻳﺪ

Artinya: “Maskawin yang sudah ditentukan dan masih dalam genggaman suami yang belum diterima oleh istri, hal itu merupakan barang yang di jamin oleh suami berdasarkan akad ataukah dijamin sebagai barang yang diambil dari tangan istri”.

Penjelasan:

Maskawin kalau dianggap sebagai barang yang dijamin akad maka tidak sah untuk dijual sebelum diterima, sedangkan kalau dianggap hak milik istri maka boleh dijual walaupun barangnya masih di suaminya. Demikian juga jika maskawin yang di tangan suami itu rusak atau hilang, maka harus diganti sesuai dengan maskawin misil istri, karena jaminan berdasarkan akad. Tetapi kalau dianggap sebagai barang yang diambil dari tangan istri maka harus diganti persis seperti wujud semula atau seharga mahar itu.


11. Qaidah ﺍﻟﻄﻼﻕ ﺍﻟﺮﺟﻌﻲ ﻫﻞ ﻳﻘﻄﻊ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺍﻭﻻ

Artinya: “Thalaq raj’i apakah itu merupakan pemutusan nikah atau tidak”

Penjelasan:

Seandainya suami menggauli istri dalam masa iddahnya, kemudian baru merujuknya, maka wajib membayar mahar menurut pendapat yang menyatakan rujuk termasuk memutus pernikahan, dan kalau suami meninggal, istri tidak boleh memandikanya menurut pendapat yang absah, tetapi menurut pendapat yang kedua boleh memandikanya sebagaimana masih suami istri. Bila hal itu dianggap putus maka berakibat haram melihat aurat, dan bergaul dengan istri, namun jika dianggap tidak putus, maka berakibat wajib memberi nafkah, mempunyai hak waris. Menilai kaidah tersebut, maka muncul pendapat ketiga, yaitu talak Raj’i masih mauquf sampai habis masa iddahnya.


12. Qaidah ﺍﻟﻈﻬﺎﺭ ﻫﻞ ﺍﻟﻤﻐﻠﺐ ﻓﻴﻪ ﻣﺸﺎﺑﻬﺔ ﺍﻟﻄﻼﻕ ﺍﻭﻣﺸﺎﺑﻬﺔ ﺍﻟﻴﻤﻴﻦ

Artinya: “Dhihar itu apakah selayaknya serupa dengan talak, ataukah serupa dengan sumpah.”

Penjelasan:

Misalnya ada seorang yang mendhihar (menyamakan punggung istri dengan punggung ibunya) empat istrinya dengan satu kalimat. Misalnya “engkau semua seperti punggung ibuku.” Jika ia ingin kembali pada istrinya ia harus membayar empat kafarat karena diserupakan dengan talak, tetapi jika lebih diserupakan dengan sumpah maka cukup membayar satu kafarat, yakni kafarat sumpah. Jika diserupakan dengan talak maka boleh dengan lisan atau tulisan, tetapi jika dengan sumpah maka harus dengan lisan.


13. Qaidah ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻜﻔﺎﻳﺔ ﻫﻞ ﻳﺘﻌﻴﻦ ﺑﺎﻟﺸﺮﻭﻉ ﺍﻭ ﻻ

Artinya: “Fardu kifayah, apakah menjadi fardu ‘ain setelah dilaksanakan atau masih tetap sebagai fardu kifayah”

Penjelasan:

Pendapat yang lebih sah adalah bahwa shalat jenazah apabila sesorang telah memulai mengerjakan maka haram baginya untuk meninggalkan, karena hal itu bagai fardu ‘ain, demikian pula kasus jihad. Diharamkan meninggalkan bila sudah memulai berjihad (berperang), bahkan sangat dibenci jika hal itu dilakukan, karena hal itu merupakan kemunafikan. Bagi al-Ghazali menyatakan bahwa pendapat itu khusus fardu kifayah shalat jenazah dan jihad, selainnya tidak mengubah status fardu kifayah.


14. Qaidah ﺍﻟﺰﺍﺋﻞ ﺍﻟﻌﺎﺋﺪ ﻫﻞ ﻫﻮ ﻛﺎﻟﺬﻱ ﻟﻢ ﻳﺰﻝ ﺍﻭ ﻛﺎﻟﺬﻱ ﻟﻢ ﻳﻌﺪ

Artinya: “Suatu yang hilang kemudian kembali, apakah hukumnya seperti tidak hilang sebagaimana sedia kala ataukah sebagai barang baru”

Pendapat:

1. Dianggap sebagaiamana sedia kala, misalnya wanita yang telah ditalak sebelum digauli, maka hilang kemilikanya atas mahar, kalau suamianya kemabali maka kembali pula hak pemilikanya terhadap mahar seperti mahar semula. Harta yang pada ahir tahun perlu dizakati kemudian hilang ditengah tahun yang kemudian kembali maka tetap pada ahir tahun dizakati seperti tidak hilang, dan juga orang memukul orang lain hingga rusak penglihatan, kemudian penglihatan kembali maka gugur hukum qashas atas orang itu.

2. Dianggap sebagaimana barang baru, mislanya hakim gila atau hilang keahlianya, kemudian sembuh atau kembali keahlianya maka tidak kembali kekuasaan hakimnya.


15. Qaidah ﻫﻞ ﺍﻟﻌﺒﺮﺓ ﺑﺎﻟﺤﺎﻝ ﺍﻭﺑﺎﻟﻤﺎﻝ

Artinya: “Apakah ungkapan itu menurut keadaan atau menurut bendanya”

Pendapat:

Kaidah tersebut menimbulkan kaidah sebagai berikut:

ﻣﺎﻗﺎﺭﺏ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﻫﻞ ﻳﻌﻄﻲ ﺣﻜﻤﻪ

“Yang dekat dengan sesuatu adakah diberi hukumnya.”

ﺍﻟﻤﺸﺮﻑ ﺍﻟﺰﻭﺍﻝ ﻫﻞ ﻳﻌﻄﻲ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﺰﺍﺋﻞ

“Sesuatu yang hampir hilang, apakah diberikan hukum sebagaimana sesuatu yang hilang”

ﺍﻟﻤﺘﻮﻗﻊ ﻫﻞ ﻳﺠﻌﻞ ﻛﺎﻟﻮﺍﻗﻊ

“Apa yang akan terjadi apakah dijadikan seperti yang terjadi.”

Penjelasan:

Misalnya ada seorang menjadi imam dengan berpakaian yang menutup aurat, tetapi ketika ruku’ pakiannya robek. Pendapat yang kuat adalah bahwa apa yang akan terjadi itu tidak dijadikan seperti apa yang terjadi, jadi makmum tetap sah dengan niat infirod (memisahkan diri dari shalat jamaah) ketika robek pakaian imam.


16. Qaidah ﺍﺫﺍ ﺑﻄﻞ ﺍﻟﺨﺼﻮﺹ ﻫﻞ ﻳﺒﻘﻰ ﺍﻟﻌﻤﻮﻡ

Artinya: “Apabila kekhususannya batal maka masih tetap keumumanya”

Penjelasan:

Misalnya seseorang telah melakukan takbiratul ihram pada shalat yang belum masuk waktunya, maka batallah kekhususannya (niat shalat wajib itu) tetapi menurut pendapat yang absah masih dianggap berlaku keumuman takbir itu untuk shalat sunnah. Demikian juga orang yang bertayamum untuk shalat wajib sebelum waktunya, maka batal tayamumnya untuk digunakan shalat wajib (sebab kebolehan tayamum adalah menunggu waktu shalat wajib tiba) serta tidak boleh digunakan shalat sunnah, lain lagi jika niatnya untuk tayamum shalat sunnah maka diperbolehkan.


17. Qaidah ﺍﻟﺤﻤﻞ ﻫﻞ ﻳﻌﻄﻲ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻤﻌﻠﻮﻡ ﺍﻭﺍﻟﻤﺠﻬﻮﻝ

Artinya: “Anak yang masih dalam kandungan, apakah dihukumi seperti sesuatu yang telah diketahui ataukah sebagai sesuatu yang belum diketahui”

Penjelasan:

Misalnya mengenai penjualan binatang yang bunting “hamil” menurut pendapat yang absah hal itu tidak diperkenankan, karena yang dalam kandungan itu masih majhul tidak diketahui kriterianya, demikian juga tidak sah menjual binatang dalam perut induknya karena hal itu tidak diketahui, sedang dalam masalah wasiat pada anak dalam kandungan itu diperbolehkan, karena hak itu sudah jelas. Tetapi dalam hal waris-mewarisi, maka anak dalam kandungan dianggap laki-laki saja, sebab dengan begitu maka ketika ia lahir laki-laki maka bagiannya sebagaimana mestinya, tetapi jika wanita maka uang warisan yang lebih dapat dibagikan lagi pada yang lain.


18. Qaidah ﺍﻟﻨﺎﺩﺭ ﻫﻞ ﻳﻠﺤﻖ ﺑﺠﻨﺴﻪ ﺍﻭﺑﻨﻔﺴﻪ

Artinya: “sesuatu yang jarang terjadi, apakah dikaitkan dengan jenisnya ataukah menurut keadaannya sendiri”

Penjelasan:

Misalnya hukum menyentuh penis laki-laki yang telah putus, menurut pendapat yang lebih kuat adalah membatalkan wudlu, karena secara hakiki adalah menyentuh alat kelamin. Sedangkan jika menyentuh anggota tubuh wanita yang telah terputus dari induknya maka tidak membatalkan, karena hal itu tidak menyentuh wanita lagi. Demikian juga orang yang mempunyai anggota badan lebih, misalnya jarinya 6 (enam), maka wajib juga dibasuh saat berwudlu.


19. Qaidah ﺍﻟﻘﺎﺩﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻴﻘﻴﻦ ﻫﻞ ﻟﻪ ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﻭﺍﻷﺧﺬ ﺑﺎﻟﻈﻦ

Artinya: “Orang yang kuasa menuju yang yakin bolehkah baginya berijtihad berdasarkan perkiraan”.

Penjelasan:

Secara umum seorang mujtahid tidak boleh berijtihad jika mendapatkan nash, karena nash merupakan suatu keyakinan dan dia tidak boleh mengabaikan nash tersebut, sedangkan ijtihad merupakan keputusan dzan dibanding nash. Misalnya seseorang mempunyai dua baju, yang stau suci, sedang yang lain najis, maka dia boleh meneliti (berijtihad) mana yang suci untuk dipergunakan walaupun ia dapat berganti dengan pakaiannya lain yang jelas suci. Namun seseorang tidak sah shalat menghadap hijr ismail, karena yang yakin jelas diketahui, yakni menghadap ka’bah.


20. Qaidah ﺍﻟﻤﺎﻧﻊ ﺍﻟﻄﺎﺭﺉ ﻫﻞ ﻫﻮ ﻛﺎﻟﻤﻘﺎﺭﻥ

Artinya: “Halangan yang datang kemudian, apakah ia seperti bercampur”

Pendapat:

Kaidah tersebut ada dua pendapat, sebagian menganggap seperti bercampur seperti menambah air sehingga menjadi banyak yang semua jenis. Selesainya orang yang istihadlah ditengah-tengah menjalankan sholat. Murtadnya seseorang yang sedang ihram, serta perubahan niat yang buruk yang semula baik dalam bepergian, maka kasus tersebut hukum airnya menjadi suci, shalatnya menjadi batal, dan ihramnya juga batal dan tidak ada rukhsah baginya.


Sumber: Intisari Kajian 
Teks: Jalaluddin Al-Suyuthi, Asybah Wa al-Nadzair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1984), 162-187.


Abd Hamid Majid

Seorang Mahasiswa Universitas di Jawa Timur, Indonesia

Post a Comment

Previous Post Next Post