Islam, Iman Dan Ihsan
Dimensi Keislaman seseorang, yaitu iman, islam dan ihsan. Nurcholish Madjid menyebutnya sebagai trilogi ajaran Ilahi.
Dimensi-dimensi Islam berawal dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dimuat dalam masing-masing kitab sahihnya yang menceritakan dialog antara Nabi Muhammad Saw dan Malaikat Jibril tentang trilogi ajaran Ilahi yang Artinya: “Nabi Muhammad Saw keluar dan (berada di sekitar sahabat) seseorang datang menghadap beliau dan bertanya: “Hai Rasul Allah, apakah yang dimaksud dengan iman?“ Beliau menjawab: “Iman adalah engkau percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, para utusan-Nya, dan percaya kepada kebangkitan.” Laki-laki itu kemudian bertanya lagi: “Apakah yang dimaksud dengan Islam?" Beliau menjawab: “ Islam adalah engkau menyembah Allah dan tidak musyrik kepada-Nya, engkau tegakkan salat wajib, engkau tunaikan zakat wajib, dan engkau berpuasa pada bulan Ramadhan.” Lakilaki itu kemudian bertanya lagi: “Apakah yang dimaksud dengan ihsan?” Nabi Muhammad Saw menjawab: “ Engkau sembah Tuhan seakan-akan engkau melihat-Nya; apabila engkau tidak melihat-Nya maka (engkau berkeyakinan) bahwa Dia melihatmu...”
Hadits di atas memberikan ide kepada umat Islam Sunni tentang rukun iman yang enam, rukun Islam yang lima, dan penghayatan terhadap Tuhan yang Mahahadir dalam hidup. Sebenarnya, hal itu hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Antara yang satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan.
Setiap pemeluk agama Islam mengetahui dengan pasti bahwa Islam tidak absah tanpa iman, dan iman tidak sempurna tanpa ihsan. Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa Islam. Dalam penelitian lebih lanjut, sering terjadi tumpang tindih antara tiga istilah tersebut: dalam iman terdapat Islam dan ihsan; dalam Islam terdapat iman dan ihsan; dan dalam ihsan terdapat iman dan Islam. Dari sisi itulah, melihat iman, Islam dan ihsan sebagai trilogi ajaran Ilahi.
Ibnu Taimiah menjelaskan bahwa din itu terdiri dari tiga unsur, yaitu Islam, iman dan ihsan. Dalam tiga unsur itu terselip makna kejenjangan (tingkatan): orang mulai dengan Islam, kemudian berkembang ke arah iman, dan memuncak dalam ihsan. Rujukan Ibnu Taimiah dalam mengemukakan pendapatnya adalah surat alFathir (35) ayat 32: “ Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri; dan di antara mereka ada yang pertengahan; dan di antara mereka ada pula yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan izin Allah...”
Di dalam al-Quran dan terjemahnya yang diterbitkan Departemen Agama dijelaskan sebagai berikut: pertama, “orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri“ (fa minhum zhalim li nafsih) adalah orang yang lebih banyak kesalahannya dari pada kebaikannya; kedua, “orang-orang pertengahan” (muqtashid) adalah orang-orang yang antara kebaikan dengan kejelekannya berbanding; dan ketiga, “orang-orang yang lebih dulu berbuat kebaikan” (sabiq bi al-khairat) adalah orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan jarang melakukan kesalahan.
Dengan penjelasan yang agak berbeda, Ibnu Taimiah menjelaskan sebagai berikut: pertama, orang-orang yang menerima warisan kitab suci dengan mempercayai dan berpegang teguh pada ajaran-ajarannya, namun masih melakukan perbuatan-perbuatan zalim, adalah orang yang baru ber-Islam, suatu tingkat permulaan dalam kebenaran; kedua, orang yang menerima warisan kitab suci itu dapat berkembang menjadi seorang mukmin, tingkat menengah, yaitu orang yang telah terbebas dari perbuatan zalim namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja; ketiga, perjalanan mukmin itu (yang telah terbebas dari perbuatan zalim) berkembang perbuatan kebajikannya sehingga ia menjadi pelomba (sabiq) perbuatan kebajikan; maka ia mencapai derajat ihsan. “ Orang yang telah mencapai tingkat ihsan,” kata Ibnu Timiah,” akan masuk surga tanpa mengalami azab,”
Imam al-Syahrastani menjelaskan bahwa Islam adalah menyerahkan diri secara lahir. Oleh karena itu, baik mukmin maupun munafik adalah Muslim. Sedangkan iman adalah pembenaran terhadap Allah, para utusan-Nya, kitab-kitabNya, hari kiamat dan menerima qadla dan qadar. Integrasi antara iman dan Islam adalah kesempurnaan (al-kamal). Atas dasar penjelasan itu, ai-Syahrastani juga menunjukkan bahwa Islam adalah pemula; iman adalah menengah; dan ihsan adalah kesempurnaan. Meskipun tidak dapat dikatakan sepenuhnya benar, umat Islam telah memakai suatu kerangka pemikiran tentang trilogi ajaran Ilahi di atas ke dalam tiga bidang pemikiran Islam: pertama, iman dan berbagai hal yang berhubungan dengannya diletakkan dalam satu bidang pemikiran, yaitu teologi (ilmu kalam);kedua, persoalan Islam dijelaskan dalam bidang syari’at (fikih); dan ketiga, ihsan dipandang sebagai akar tumbuhnya tasawuf.
Syariat
Secara kebahasaan, syariat adalah sumber air bagi manusia untuk mendapatkan minuman. Sementara menurut terminologi komunitas sufi, syariat adalah menjalankan segala yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang.
Syariat menuntut seorang salik untuk menjalankan agama Islam dan terus-menerus melaksanakan perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya. Inilah yang disebut dengan istiqamah. Segala perintah dan segala larangan pasti jelas terlihat oleh seluruh manusia.
Syariat islam adalah hukum dan aturan islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut islam.
Syariat islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan didunia ini.